Sabtu, 20 Januari 2018

Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw., telah melalui perjalanan yang panjang. Pasca wafatnya Rasulullah Saw. bermunculan firqah-firqah (golongan-golongan) dalam umat Islam, yang satu dan lainnya sulit didamaikan, apalagi dipersatukan.  Nahdhatul Ulama (NU) yg berpaham Ahlussunah wal Jama’ah memiliki tanggung jawab besar dalam rangka melindungi umat Islam tetap berada dalam tuntunan ajaran Islam yang lurus. Oleh sebab itu, NU telah memberikan garis-garis yang jelas tentang sikap keagamaannya, baik dalam masalah akidah, syariah, tasawuf, maupun siyasah.

NU mendasarkan paham keagamaannya pada Al-Qur’an, hadist, ijma’ dan qiyas. Pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadist sendiri tentu berbeda-beda antara satu paham dan lainnya. Jadi, meskipun paham-paham dalam Islam mendasarkan sikap keagamaan terhadap Al-Qur’an dan Hadist, namun pemahaman dan tafsir atas dasar tersebut berbeda.

Dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumbernya, NU mengikuti Ahlussunnah wal Jamaah dengan menggunakan jalan pendekatan madzhab:

1. Dalam bidang akidah, NU mengikuti paham Ahlussunnah wal Jamaah yang dipelopori oleh Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi

2. Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan (madzhab salah satu dari madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.

3. Dalam bidang tasawuf mengikuti, antara lain Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali, serta imam-imam lainnya, seperti Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

4. Dalam Siyasah mengikuti Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad al-Mawardi

Di bawah ini dijelaskan lebih rinci tentang sikap keagamaan NU, baik dalam hal akidah, syariah, tasawuf, dan siyasah.

Penjelasan tentang hal tersebut tidak mungkin menghindarkan dari biografi tokoh pendiri madzhab yang diikuti oleh NU.

A. Akidah

Permasalahan-permasalahan keagamaan sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw., masih hidup. Namun, waktu itu, setiap kali persoalan muncul, para sahabat dapat segera memecahkannya dengan jalan Rasulullah Muhammad Saw. Apabila ada ayat-ayat yang kurang bisa dipahami, Sahabat akan menanyakannya langsung kepada Rasul, dan segera mendapatkan jawabannya. Apabila terjadi perbedaan pendapat, Rasulullah Saw. akan menengahi dan selesailah masalah.

Namun begitu, setelah wafatnya Baginda Rasulullah Muhammad Saw., seiring dengan berjalannya waktu, berbagai permasalahan keagamaan terus bermunculan. Al-Qur’an dan Hadist yang menjadi pondasi utama umat Islam dalam berakidah dan beribadah ditafsirkan secara berbeda-beda, sehingga niscaya menimbulkan pemahaman yang berbeda.

Sesungguhnya persengketaan akidah pada mulanya diakibatkan oleh pertentangan masalah imamah. Dari persoalan tersebut, kemudian merambah ke wilayah agama, terutama seputar hukum seorang muslim yang berdosa besar dan bagaimana statusnya ketika ia meninggal; mukmin ataukah sudah kafir. Dari situ, pembicaraan tentang akidah kemudian meluas ke persoalan-persoalan Tuhan dan manusia baik menyangkut perbuatan dan kekuasaan Tuhan, juga sifat keadilan Tuhan, sampai pada persoalan apakah Al-Qur'an termasuk makhluk atau bukan.

Sampai kemudian lahirlah paham-paham akidah, seperti Qadariyah, Jabbariyah, Mu’tazilah, Asy'ariyah dan Maturidiyah. Dua kelompok terakhir itulah yang mengambil sikap moderat yang kemudian dikenal dengan pahamnya Ahlusunnah wal Jamaah.

Disebut Asy‘ariyah karena madzhab tersebut didirikan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari, dan Maturidiyah karena pendirinya adalah Imam Abu Manshur al-Maturidi.

1. Abu Al-Hasan Al-Asy’ari

Ahlusunnah wa Jama’ah sering juga disebut dengan ahlussunnah, atau sunni, atau kadang-adang disebut 'Asy'ari atau Asy'ariyah, dikaitkan kepada guru besar yang bertama, Abu al-Hasan 'Ali al-Asy'ari. Nama lengkap beliau adalah Abu Hasan Ali bin Ismail, bin Abi Basyar, Ishaq bin Salim, bin Isma'il, bin Abdillah, bin Musa, bin Bilal, bin Abi Burdah, bin Abi Musa al-Asy'ari.

Abu Hasan 'Ali, lahir di Bashrah (Irak) tahun 260 H, 55 tahun sesudah meningalnya Imam Syafi'i. Pada mulanya, Abu Hasan merupakan murid dari ayah tirinya sendiri, bernama Syeikh Abu 'Ali Muhammad bin Abdul Wahab Al-Jabai yang merupakan ulama besar Mu'tazilah. Pada waktu Abu Hasan berusia remaja, Mu'tazilah memang menjadi paham penguasa, dan ulama-ulama Mu'tazilah banyak sekali bisa dijumpai, baik di Bashrah, Kuffah, maupun Baghdad.

Imam Abu Hasan al-Asy'ari kemudian mendapatkan hidayah bahwa dalam paham Mu'tazilah terdapat banyak kesalahan besar yang bertentangan dengan i'tiqad dan kepercayaan Nabi Muhammad Saw., dan sahabat-sahabat beliau, selain juga banyak yang bertentangan dengan al-Qur'an dan Hadis. Maka, beliau kemudian memutuskan keluar dan tampil sebagai penentang untuk melawan pendapat-pendapat kaum Mu'tazilah.

Abu Hasan Al-Asy’ari banyak berjuang menegakkan akidah Ahlusunnah wal Jamaah dengan menggunakan tulisan maupun lisan, menandingi kaum Mu’tazilah. Beliau telah merumuskan dan menulis kitab-kitab akidah sehingga namanya terkenal sebagai seorang ulama Tauhid. Di antara kitab-kitab terkenal karangan beliau adalah  Ibanah fi Ushuluddiyanah yang tediri dari 3 jilid besar, Maqallatul Islamiyiin, Al Mujaz, dan masih banyak lagi.

Akidah Asy'ariyah merupakan jalan tengah (tawasuth) di antara kelompok-kelompok keagamaan yang berkembang pada masa masa itu (abad 3 H).Kita paham, paling tidak ada dua kelompok yang saling bertolak belakang, yakni Jabariyah dan Qadariyahyang keduanya dikembangkan oleh Mu'tazilah.

Sikap tawasuth ditunjukkan oleh Asy'ariyah dengan konsep al-kasb (upaya). Menurut Asy'ari, perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peranan dalam perbuatannya. Kasb memiliki makna kebersamaan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Kasb juga memiliki makna keaktifan dan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.

Berbeda dengan Jabbariyah yang menganggap bahwa manusia tidak memiliki daya dan upaya sama sekali, konsep Kasb Asy'ariyah menempatkan manusia sebagai manusia yang selalu berusaha secara kreatif dalam kehidupannya, namun tidak melupakan bahwa Tuhanlah yang menentukan semuanya.

Paham akidah seseorang tentu saja sangat memengaruhi pola kehidupannya sehari-hari, bukan saja pada masalah kepercayaan (keimanan), tetapi menyangkut urusan ekonomi, budaya dan persoalan-persoalan lainnya.

Konsep akidah Asy’ari banyak diterima bukan hanya disebabkan lebih mudah dicerna akal sehat, tetapi karena ia mendasarkan konsep akidahnya dengan mengutamakan dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadist di atas akal dan pikiran. Asya’ari tidak menolak peran akal, sebab memahami al-Qur’an dan Hadist tanpa akal adalah mustahil. Tetapi kemampuan akal terbatas, dan penggunaan akal dalam menerjemahkan wahyu tidak bisa semena-mena. Adakalanya hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah akidah (seperti Kehendak Allah, Keadilan Allah, dll) tidak bisa dijangkau oleh akal. Pada saat yang demikian itulah akal mesti tunduk kepada wahyu.

Pada perkembangannya, Paham Asy’ariyah terus menyebar dan meluas. Kian lama kian banyak bermunculan ulama-ulama yang mengikuti, memperkuat, dan mengembangkan paham Asy’ariyah. Salah satunya adalah Imam Abu Mansur Al-Maturidi.

2. Abu Manshur Al-Maturidzi

Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad bin Mahmud. Beliau lahir di Samarqand, tepatnya di sebuah desa bernama Maturid.

Paham akidah Maturidiyah dan Asy'ariyah memiliki keselarasan. Makanya, kedua imam besar inilah yang kemudian dianggap sebagai pembangun Madzhab Ahlusuunnah wal Jama’ah. Kalau ada yang berbeda antara keduanya, itu hanya pada madzhab fiqh yang mereka ikuti. Asy'ariyah menggunakan madzhab Imam Syafi'i dan Imam Malik, sementara Maturidiyah menggunakan madzhab Imam Hanafi.

Di antara pemikiran Abu Manshur Al-Maturidi dalam masalah akidah adalah upaya mendamaikan antara dalil aqli dan naqli (akal dan wahyu). Paham Maturidiyah berpendapat bahwa, apabila kita berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash (naql) maka itu merupakan suatu kesalahan, sama juga salah apabila kita larut tidak terkendali dalam menggunakan rasio ('aql).

Jadi,antara 'aql dan naql memiliki peranan yang sama pentingnya. Menafikan peran akal dalam memahami dalil naql merupakan suatu kemustahilan.

Sekilas, pandangan tersebut sama dengan konsep 'Asy'ariyah, tetapi sebenarnya terdapat perbedaan, yakni pada posisi akal terhadap wahyu. Dalam buku Aswaja An-Nahdhiyyah, dijelaskan bahwa menurut Maturidiyah, wahyu harus diterima penuh. Tapi jika terjadi perbedaan antara wahyu dan akal maka akal harus berperan menatakwilkannya. Terhadap dalam ayat-ayat tajsim (Allah bertubuh) atau tasybih(Allah serupa makhluk), misalnya, harus ditafsirkan dengan arti majazi (kiasan). Contoh seperti lafal “Yadullah” yang arti aslinya "Tangan Allah" ditakwil menjadi "kekuasaan Allah".

Lagi, tentang sifat Allah. Maturidiyah dan Asy'ariyah sama-sama menerimanya. Namun, sifat-sifat itu buka sesuatu yang berada di luar zat-Nya. Sifat tidak sama dengan zat, namun tidak dari selain Allah. Misalnya, Tuhan Maha Mengetahui bukanlah dengan Zat-Nya, tetapi dengan pengetahuan ('ilmu)-Nya (ya'lamu bi 'ilmihi).

Dalam persoalan kekuasaan dan kehendak (Qudrah dan Iradah) Tuhan, Maturidiyah berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh Tuhan sendiri. Jadi kehendak Tuhan tidak mutlak. Meskipun demikian Tuhan tidak dapat dipaksa atau terpaksa dalam berbuat, melainkan sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya.

Misalnya, Allah menjanjikan orang baik akan masuk surga, dan sebaliknya orang jahat masuk neraka, maka Allah akan menepati janji-janji tersebut. Namun, manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam menggunakan daya untuk memilih antara yang baik dan yang buruk.

Dengan demikian, menurut paham Maturidiyah, perbuatan itu tetap diciptakan oleh Tuhan. Sehingga perbuatan manusia sebagai perbuatan bersama antara manusia dan Tuhan. Allah yang mencipta, sementara manusia meng-kasab-nya.

Salam satu aqidah
AMB elJawie
Salam satu aqidah
AMB elJawie

0 komentar:

Posting Komentar

BERSYUKURLAH KEPADA SUAMI karena ALLOH,,,,,,,,,,,,,,,,

 o0o_بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــم_ oOo BAHAGIA itu,,, sangat SEDERHANA (31) oOo السلام عليكم ورحمة الله وبركاته oO...