Jumat, 07 September 2018

US.7/9/18

*اللهُم  َّصلِّ  علٰى  سَيِّدنا  مُحَمّدٍ  عبدِكَ  وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ*

                 🅐🅛 🅗🅘🅚🅐🅜

*RAGAM AMAL*

تَنَوَّعَتْ أَجْناسُ الأَعْمالِ لَتَنَوُّعِ وارِداتِ الأَحْوالِ

"Aneka Ragam Karya itu lantaran aneka ragam Anugerah Ahwal."



*PEMBAHASAN*
Kali ini Syekh Ibnu Athaillah mengajak kita merenungkan tentang aneka warna karya atau amal yang berlangsung pada hamba-Nya. Dengan ungkapannya yang indah Syekh berkata, "Warna-warni  amal itu karena warna-warni anugrah dari Allah."

Selama ini mungkin kebanyakan hamba berasumsi, bahwa keragaman model atau bentuk karya-karya atau amaliah yang dilaukan itu disebabkan oleh kreativitas dirinya sendiri. Contoh kasus: Seorang tiba-tiba berkata kepada sahabatnya, "Eh, tadi pagi saya baru saja menolong orang kecelakaan di jalan. Saya antar ke rumah sakit. Sampai-sampai semua baju saya penuh darah. Ceritanya begini, begini, dan begitu."

Kita amati bersama, di dalam kisah itu terlihat betapa cerdas dan licik permainan si aku yang menyusup. Kita tiba-tiba berasumsi bahwa kita ini baru saja mampu melangsungkan amaliah berupa menolong orang lain. Padahal, sikap kita menolong itu muncul karena ada sebuah peristiwa. Dan setiap peristiwa itu tidak ada yang kebetulan. Bukankah semua hal, apapun itu di dunia ini, adalah atas Kehendak Allah?

Coba bayangkan jika Allah sama sekali tidak menempatkan kita pada situasi dan kondisi yang memungkinkan kita untuk berbuat sesuatu? Maka jangan dibalik penekannannya, seakan aku lah yang berhasil menolong. Kasus yang serupa ini juga berlangsung di semua aspek kehidupan.

Bagaimana mungkin hati kita akan merespon kesabaran kalau kita tidak berhadapan yang memungkinkan hati kita harus merespon dengan sabar. Keragaman aksi, amal, karya yang selama ini diasumsikan bahkan diyakini karena kita sendiri yang melakukan adalah satu kekeliruan besar dala bertauhid. Semua itu, dapat berlangsung karena Allah yang Menginspirasi, karena Allah yang menyiapkan ladangnya, momentumnya, peristiwanya, dan semuanya. Dan segala apa yang memungkinkan kita untuk merespon dengan amal itulah disebut Anugerah atau WARID.

Secara bahasa, WARID itu artinya sesuatu yang menghampiri. Karena sesuatu yang menghampiri itu dari Allah, maka disebut Anugerah. Angin yang menerpa kita itu anugerah. Air yang mengguyur kita juga anugerah. Kenapa? Karena itu semua datang dari Allah. Apakah hanya angina dan air? Tentu tidak! Tapi semua hal, yang lahir-batin, yang nyata atau tidak, yang ada dalam khayalan atau alam nyata, adalah sesuatu yang dihadirkan Allah. Semua itu adalah Anugerah (warid).

Sedangkan sikap untuk secara kontinu untuk menyerap WARID itu disebut WIRID. Jadi sebenarnya, WIRID itu bukan bacaan-bacaan dalam bilangan dan kalimat tertentu. Tapi lebih kepada sikap.  Bayangkan kita membaca dzikir atau wiridan tapi tidak ada sikap sama sekali. Itu kenapa para guru sering mengajarkan kita untuk membaca sejumlah wiridan tertentu supaya kita ditempa dan dilatih untuk bersikap. Sikap bagaimana? Tentu saja sikap dalam menjadi Hamba Allah.

Apakah dapat disebut sebagai sikap menerima anugerah, jika kita sedang duduk berzikir, kita masih sempat memikirkan hal lain? Masih sempat garuk-garuk. Masih sempat pusing dengan kaki yang kesemutan, dingin, keringat, atau badan pegal-pegal. Artinya, Anugerah Allah (WARID) senantiasa Hadir. Tapi persoalannya, kita punya sikap menerima (WIRID) terhadap WARID yang datang itu apa tidak?

*AMAL Muncul dari Ahwal*
Dalam wacana tasawuf, Khusyuk dalam menyelami WARID Allah itu adalah kenikmatan tersendiri.  Dan kenikmatan dalam menerima WARID Allah itu menjadi salah satu tanda dari hati yang terbuka.

Syaikh Fadhalla Hairi ra. pernah berkomentar, “Suatu perbuatan yang timbul dari hati yang bening dan merdeka tidak sama dengan perbuatan yang dimotivasi oleh ragam keinginan, macam-macam ketakutan, hingga ambisi pribadi. Hasil perbuatan juga berbeda-beda sesuai dengan niat dan keadaan hati kita. Perbuatan adalah gerakan lahir dari apa yang ada dalam hati dan tergantung pada keadaannya. Jadi, seluruh kondisi dan pengalaman diri (eksistensial) menampakkan keadaan hati yang sebenarnya.”

Sementara Syekh al-Buthi menegaskan bahwa kondisi yang sedang dialami seorang dapat memotivasi lahirnya berbagai macam amal. Lalu apa yang dimaksud dengan kondisi (ahwal)? al-Buthi menjelaskan; yang dimaksud dengan kondisi adalah *Kondisi Hati* dan *Kondisi Masyarakat.*

*KONDISI MASYARAKAT*
Perlu dijelaskan di sini, yang dimaksud dengan kondisi adalah satu interaksi seseorang dengan segala hal yang ada diluar dirinya. Kita sebagai hamba tentu diberikan aneka tugas. Mulai dari tugas senantiasa menjaga ketersambungan dengan Allah melalui sholat, puasa, dan seterusnya. Juga kita pun diberika tugas lain seperti tugas dan peran kepada keluarga, saudara, sahabat, hingga masyarakat dan lingkungan.

Kita pasti tahu apa tugas orang tua. Begitu juga tugas guru, tugas karyawan, tugas pegawai, tugas polisi, tugas dokter, dan seterusnya. Semua tugas itu tentu harus dikerjakan dengan tulus.  Jika dirinya karyawan, maka tugas di luar dirinya sebagai hamba adalah seorang yang harus patuh dan tulus dalam mengikuti aturan kantor atau perusahaan. Jangan dikira, sikap dirinya yang tulus dalam bekerja itu adalah bagian dari pengabdian kepada Allah? Kenapa? Karena di situ Allah Menghadirkan Warid (anugerah). Yakni peluang-peluang, atau momen-momen untuk kita agar kita merespon dengan sikap (Wirid) yang tulus.

Begitu juga seorang yang sudah menikah. Selain menjalani tugas hamba dalam mengabdi secara langsung kepada Allah, dirinya juga punya kewajibn kepada keluarga. Kewajiban kepada keluarga ini juga menjadi ladang atau masjid pengabdian atau ibadah kepada Allah. Meski hanya berupa duduk bercengkrama dengan keluarga di waktu senggang, meski cuma bermain dan bercanda dengan anak-anak, bersikap lembut kepada istri atau suami dan anak-anak, semua itu adalah ibadah yang tak tergantikan. Jangan dikira semua itu bukan masjid atau tempat sujud kepada Allah?

Apa ukurannya? Jika dalam pengabdian kepada Allah misalnya dalam sholat atau puasa yang utama itu bagaimana kita menempatkan keakuan. Begitu pula di dalam keluarga. Jika di dalam keluarga keakuan kita ini yang dominan dan menjadi-jadi seperti seorang diktator, maka kita tidak dapat menikmati WARID Allah berupa pengabdian di dalam keluarga. Artinya, keluarga itu WARID. Persahabatan itu juga WARID. Bahkan semuanya adalah WARID. Masalahnya adalah, apakah kita bersedia menerima WARID atau Anugerah Allah itu? Selama si aku bertepuk dada, maka momentum Warid, akan lewat begitu saja.

_Tumpang Tindih Warid_
Seorang pekerja atau karyawan misalnya, ketika bekerja di kantor harus menggunakan waktunya secara optimal. Sebab jika dirinya lalai bahkan melalaikan maka sama saja dirinya bermaksiat kepada Allah. Maka, jika seorang karyawan melakukan kegiatan yang tidak penting pada jam kerja, apalagi yang melanggar peraturan pekerjaan, sama saja ia bermaksiat kepada Allah karena membuang kesempatan untuk menerima Warid dari Allah. Tak peduli meskipun kegiatan yang dilakukan itu adalah amalan Sunnah. Misalnya, seorang karyawan pada jam kerja malah asik membaca al-Quran. Kegiatan ini terlihat soleh sekali. Karena membaca al-Quran itu Sunnah. Tapi dirinya lupa, membaca al-Quran di dalam jam kerja adalah satu kezaliman, karena dirinya tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kewajiban dia saat itu adalah bekerja di kantor, bukan mengaji. Maka ketika tugas kantor diabaikan, meskipun diganti dengan kegiatan Sunnah, sama saja dirinya sedang melakukan kemaksiatan. Kenapa? Karena tiap waktu itu punya hak. Sementara, Hak itu hanya Milik Allah. Dan Allah membagikan Hak itu bukan hanya untuk Diri Allah tapi juga hak kepada publik atau masyarakat umum. Maka akan menjadi kemaksiatan jika hak umum ini dilanggar. Di sini kita mesti sadar bahwa ibadah kita kepada Allah itu juga bergantung pada kewajiban-kewajiban sosial kita.

Bayangkan jika seorang pilot yang bertugas dan punya tanggung jawab kepada semua penumpang, lalai dan meremehkan tugasnya. Itulah integritas! Maka seorang pilot harus punya integritas. Seorang tentara harus punya integritas. Anggota dewan harus punya integritas. Ulama, pegawai bank, KPK, seniman, pelawak, dan seterusnya. Karen sesungguhnya, sikap atau integritas seorang di bidang apapun, sebenarnya representasi atau perwujudan dirinya sebagai hamba Allah. Tapi ingat, semua itu dilakukan dengan syarat: hanya karena Allah!

Dari sini, kemudian kita punya sikap. Bahwa nilai dan kemuliaan tugas atau pekerjaan apapun itu tidak dilihat dari jenis pekerjaannya. Tapi dari sejauh mana si pekerja itu menyikapi pekerjaannya. Di sini, kita tak boleh lagi meremehkan dan membandingkan tukang parkir dengan bankir; manajer dengan tukang sapu; karyawan dengan seniman; sopir dengan kasir; tentara dan tukang ojek, begitu seterusnya. Semua pekerjaan ini adalah ibadah. Karena hak dari setiap hamba hanya kepada Allah yang ditampilkan kepada masyarakat; dalam khazanahh tasawuf, hal ini disebut *Ahwal Ijtimaiyah* atau Kondisi Publik.

***

*KONDISI HATI*
Melanjutkan penjelasan Al-Buthi terhadap Hikam Ibn Athaillah, kita akan melihat bagaimana Ahwal dalam pengertian kondisi hati. Kondisi atau suasana hati adalah perasaan hati yang tidak bisa dibuat-buat. Suasana hati ini mutlak dikontrol langsung oleh Allah, sehingga si hamba sama sekali tidak kuasa untuk merekayasa hatinya untuk merasakan situasi hati yang diinginkan.

Selama ini kita mungkin mengalami tiba-tiba, tanpa peristiwa apapun, hati kita merasa sedih, merasa sepi dan seterusnya. Atau tiba-tiba hati kita merasa bahagia yang tiada terkira padahal tidak ada peristiwa atau apapun yang terjadi. Dari suasana hati itu lalu muncul amal, karya, atau pekerjaan. Pekerjaan atau amal yang muncul dengan sendirinya ini berasal dari suasana hati yang tidak bisa kita kontrol, karena Allah langsung yang mengendalikan. Hingga kadang seorang melakukan hal-hal yang oleh orang umum dianggap di luar nalar. Bila menghadapi situasi demikian, sebaiknya kita langsung berbaik sangka  kepada Allah. Karena penyebab peristiwa itu adalah Allah yang Mengendalikan.

Misalnya seseorang yang pernah melakukan kesalahan. Kemudian ia begitu menyesal atas kesalahan yang pernah ia lakukan. Karena menyesal, ia pun takut kepada Allah. Suasana menyesal ini adalah anugerah Allah. Artinya Allah yang sesungguhnya menginspirasi bahkan mengendalikan rasa sesal dalam hati seorang hamba yang bersalah. Dari rasa sesal inilah kemudian memunculkan rasa takut kepada Allah, yang berbuah kepada amaliah atau pekerjaan tertentu. Maka, bayangkan ketika Allah Mengendalikan sejumlah perasaan (ragam ahwal), maka akan lahirlah keragaman amal pula.

Sebuah kisah menarik yang dialami oleh Syekh Ma’ruf al-Karkhi. Suatu hari Syekh Ma’ruf yang sedang berpuasa sunnah melewati seorang petugas khusus yang menyajikan minuman. Petugas itu membawa minuman sambil berkata, “Semoga Allah Merahmati orang yang minum air dariku ini.” Mendengar perkataan petugas itu, Syekh Ma’ruf secara spontan langsung mengambil dan meminum air tersebut. Padahal ia sedang puasa. Sahabat Syekh Ma'ruf lalu menegurnya, “Kenapa engkau minum air itu, padahal engkau puasa?” Dengan rendaahh hati Syekh Ma'ruf berkata, “Memang, saya puasa. Tapi doa orang tadi lebih aku harapkan daripada yang lain, termasuk puasa ini”.

Di kisah lain, disebutkan tentang as-Saqathi yang harus membaca istighfar selama 30 tahun karena mengucapkan Alhamdulillah. As-Saqathi adalah seorang pejalan yang juga pedagang. Suatu ketika toko as-Saqathi selamat dari lalapan api yang menghanguskan seluruh pasar. Tanpa sadar as-Saqathi berucap Alhamdulillah. Sejak itu, as-Saqathi menyesal.

Mari kita amati. Dalam kasus Syekh Ma'ruf, yang menjadikan dirinya istimewa adalah tentang keyakinan hatinya betapa doa yang dipanjatkan oleh petugas minuman. Syekh Ma'ruf yakin, dengan minum air yang ditawarkan itu, ia berharap dapat masuk dalam golongan orang-orang yang dirahmati Allah. Kondisi inilah yang bikin Ma’ruf berani minum dan membatalkan puasa sunnahnya. Kondisi hati ini, sama sekali tidak bisa direkayasa. Saat itu, Syekh Ma'ruf sama sekali tidak menduga bahwa hatinya bakal muncul perasaan seperti itu. Karena tiba-tiba muncul perasaan demikian dalam hatinya, maka ia pun meminum air tersebut. Perasaan yakin mendapat rahmat dari doa petugas itu adalah AHWAL dari Allah, yang menjadikan Syekh Ma'ruf melangsungkan AMAL.  Membaca kasus Syekh Ma'ruf dalam fiqh juga bukan masalah. Selain puasa yang sedang dijalani Syekh Ma'ruf itu adalah puasa Sunnah, sikap yang dilakukan juga sikap ijtihad demi mengharap Rahmat Allah.

Lain hal dengan yang dilakukan as-Saqathi tadi. Mengucapkan Alhamdulillah memang tidak ada salahnya. Alhamdulillah memang _'alaa kulli haal_ , dalam semua kondisi. Begitu as-Saqathi mengucap Alhamdulillah, dirinya sadar bahwa ekspresi spontan darinya itu adalah respon negatif, karena dirinya merasa aman dan selamat tidak seperti orang lain. Maka, meskipun ia berkata Alhamdulillah, ia sebenarnya sedang merespon peristiwa negatif. Keinsyafan as-Saqathi dalam menyadari bahwa alhamdulillahnya itu membuat as-Saqathi malu dan merasa keliru. Merasa malu dan keliru ini adalah kontrol langsung dari Allah. Itulah Ahwal dari Allah. Itulah Anugerah dari Allah. Atas Ahwal itu, kemudian as-Saqathi mohon ampun kepada Allah dengan bertaubat dan beristighfar selama 30 tahun. Dari Ahwal yang dikontol Allah itulah yang kemudian mendorong as-Saqathi meng-istighfari ucapan Hamdalah-nya selama 30 tahun.

Hikmah yang dapat kita petik dari ungkapan Sykeh Ibnu Athaillah ini diantaranya, kita jangan sampai buruk sangka kepada siapa pun terlebih kepada Allah. Karena amaliah seseorang, kadang memang digerakkan langsung oleh Allah melaluai ragam Ahwal dalam hati orang tersebut. *Terhadap diri kita, mari kita sediakan diri, kita siapkan diri kita untuk senantiasa istiqomah dalam menjaga sikap, menjaga wirid, demi terus menyongsong aneka warid (anugerah) yang selalu datang melimpah dari Allah.*

***

Wallahua'lam

UmahSuwung
@abdullahwong

0 komentar:

Posting Komentar

BERSYUKURLAH KEPADA SUAMI karena ALLOH,,,,,,,,,,,,,,,,

 o0o_بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــم_ oOo BAHAGIA itu,,, sangat SEDERHANA (31) oOo السلام عليكم ورحمة الله وبركاته oO...