Sabtu, 17 Februari 2018

SARAH SURAT AL-FATIHAH, edisi 1 dari ayat 1 sampai 5

Ayat 1
Dengan ( menyebut ) Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang.
1). Ayat ini adalah formula praktis demi terlaksananya dalam kehidupan sehari-hari perintah Allah di Surat dan ayat yang pertama turun kepada Nabi di Gua Hira: Surat al-‘Alaq (96) ayat 1.2). Amirul Mu’minin, Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA : “Seluruh rahasia Allah ada dalam Kitab-Kitab-Nya, dan seluruh isi Kitab-Kitab-Nya tercantum dalam al-Qur’an. Semua kandungan al-Qur’an tersimpulkan dalam Surat al-Fatihah. Apa yang termuat dalam al-Fatihah terangkum dalam bismillah. Dan apa yang ada dalam bismillah termaktub dalam ‘ba’ (ب), huruf pertama dalam bismillah.”
2). Dengan huruf ‘ba’ (ب artinya: ‘dengan’) di permulaan sebagai kata sambung, bisa dipastikan bahwa Bismillahir Rahmanir Rahim adalah anak kalimat. Pertanyaannya: mana induk kalimatnya? Jawabannya: semua amal-perbuatan manusia yang sejalan dengan ridho Allah adalah induk kalimatnya. Maka kita bisa mengatakan: “Saya memakai baju dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang.” Atau “Saya menaiki kendaraan dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang”; dan seterusnya.
3). Dengan begitu, huruf ‘ba’ (ب) benar-benar menjadi pengikat atau penghubung (yang menyatukan) antara manusia beserta seluruh amal-perbuatannya dan Tuhannya. Huruf ‘ba’ (ب) membuat manusia transenden dan  melampaui alam dunianya seraya menyeruak naik ke alam malakut, terus ke alam jabarut, hinga ke alam lahut, unuk ‘bersua’ dengan Rab-nya.
4). Perhatikan frase ini “Dengan ( menyebut ) Nama Allah…” Renungkan: kenapa mesti ada kata “Nama” di antara “dengan” dan “Allah”. Kenapa bukan: بالله (billah), “dengan Allah”? Jawaban: karena seluruh realitas (nyata dan ghaib)–termasuk perbuatan manusia–adalah jelmaan dari Nama-Nya. Dan, hebatnya, seluruh realitas yg merupakan jelmaan Nama-Nya itu hanya bisa ditampung oleh JIWA manusia (33:72). Maka manusia yang JIWA-nya menampung semua realitas itu–dalam istilah Ibnu Arabi–adalah “manusia sempurna” (Insan Kamil) yang dipuncaki oleh para Rasul, Nabi, Wali, dan orang-orang suci lainnya. Dalam konteks inilah Allah menyebut Rasulullah saw sebagai “rahmatan lil ‘alamin” (21:107).

Ayat 2
( Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam )
1). Penyakit kemanusiaan paling besar sepanjang sejarah adalah ketidakadilan. Orang kuat memperdaya orang lemah. Orang kaya merendahkan orang miskin. Laki-laki berbuat semena-mena kepada perempuan. Suami mengkasari dan menganiaya istri. Orang tua mengeksploitasi anak-anaknya. Rakyat dizalimi oleh pemimpinnya. Massa dikebiri dari hak-haknya. Dan semuanya merupakan buah dari satu penyakit: takabbur ( arogan dan merasa diri hebat ).  Sementara takabbur adalah buah dari sifat riya’ ( senang pamer, senang dipuji dan disanjung, gila hormat ). Riya’ sendiri adalah stadium lanjut dari penyakit hati paling awal, yaitu ‘ujub ( takjub pd diri sendiri, senang memuji diri—di depan orang lain atau di depan cermin atau bahkan ketika sedang salat—bangga diri, narsis ).  Kita singkat ketiga penyakit tersebut dengan URT ( Ujub, Riya’, Takabbur ). Semuanya bermula dari rasa berhak mendapatkan pujian. Padahal semua realita—termasuk perbuatan manusia—adalah jelmaan dari Nama Allah ( ismullah ). Maka secara otomatis, pada hakikatnya, yang masuk akal untuk dipuji hanya Dia. Sanjungan dan pujian yang dialamatkan kepada diri kita ( jika tidak berhasil menyikapinya dengan benar ) bisa berubah menjadi senjata yang membinasakan.  “Segala puji bagi Allah….”
2). “Alhamdu”, dalam Bahasa Arab, disebut ma’rifah ( terdefenisikan dengan jelas ), yang ditandai dengan huruf “alif-lam”  dipermulaannya. Artinya, ( karena semua realitas adalah jelmaan dari Nama-Nya ) maka baik yang memuji ataupun yang dipuji berasal dari Dia, sehingga  pada dasarnya semua pujian itu, apapun bentuknya dan dari manapun asalnya, hanyalah milik-Nya (li-llah). Pujian dan sanjungan yang dialamatkan kepada diri kita sebetulnya salah alamat.
3). Di sini Allah menyebut Dirinya lagi sebagai Rab, seperti ketika Dia pertama kali memperkenalkan Diri-Nya di QS. al-‘Alaq (96) ayat 1: “iqra’ bismi Rabbi-ka”. Di dalam kata Rab tersimpul makna-makna: Pencipta, Pemelihara, Pengatur, dan Pendidik. Kata Rab di sini tidak berdiri sendiri, melainkan disandarkan ( mudlaf ) kepada kata al-‘alamin ( seluruh alam ).  Sehingga secara harfiah bisa diartikan dengan: “( Allah itu adalah ) Tuhannya seluruh alam”. Yakni bahwa seluruh alam, seluruh realitas, yang ada tidaklah berdiri sendiri. Semua itu mempunyai posisi ontologis yang tak terpisahkan dengan Pencipta, Pemelihara, Pengatur, dan Pendidiknya. Sehingga seluruh keteraturan, keajegan, keutuhan, dan kecerdasan yang kita saksikan di seluruh alam pada prinsipnya adalah Perbuatan Dia.
4). “Al-‘alamin” adalah bentuk jamak beraturan. Maksudnya, alam itu banyak, bersusun, berstruktur dan berhirarki. Semakin ke atas semakin singular ( tunggal ), semakin ke bawah semakin plural ( jamak ). Setiap alam memiliki langitnya sendiri. Setiap langit memiliki jalan/metoda pencapaiannya sendiri. Total semuanya ada ‘7’ (‘tujuh’) lapis langit, dan karenanya juga ada ‘7’ (‘tujuh’) jenjang jalan. “Dan sungguh Kami telah menciptakan di atas kalian tujuh jalan. Dan Kami tidak mungkin lalai dari ( seluruh ) ciptaan.” (23:17). Tiap langit itu kuat, berat untuk ditembus (78:12), kecuali dengan menggunakan sulthon (55:33 dan 17:80), yakni kekuatan ilmu dan kekuatan ruhani. Jika kita ingin bersua dengan-Nya, dan mengamputasi penyakit URT kita, mau tidak mau kita harus menjelejahi alam-alam ini.

Ayat 3
(Yang Maha Pengasih Yang Maha Penyayang)
1). Di ayat ini (1:3), frase ar-Rahman ar-Rahim berdiri sendiri. Tapi di ayat 1 menjadi bagian dari bismillah. Yaitu ketika Tuhan memperkenalkan diri-Nya sebagai Allah, yang lengkap dengan predikat utamanya : Bismillah ar-Rahman ar-Rahim.  Melalui ayat ini, Allah menginformasikan kepada manusia bahwa predikat utama bagi Diri-Nya ialah ar-Rahman ar-Rahim. Betul, Allah punya banyak Nama yang indah (al-asma’ al-husna), tapi kalau semuanya itu diperas, maka intisarinya terpulang kepada dua Nama ini. Terbukti saat Dia menempatkan kedua Nama ini dalam satu ayat yang mandiri di dalam Surat al-Fathihah (yang merupakan intisari dari seluruh kandungan al-Qur’an).
Kesimpulannya: Allah mengendalikan seluruh realitas dengan KASIH dan SAYANG.
Luar biasa…!!!
2). Ar-Rahman ar-Rahim mempunyai akar kata yang sama: ra-hi-ma (rahima, mengasihi dan menyayangi ). Dari sini kemudian lahir kata RAHMAH (kasih sayang ). Zat Allah itu tunggal. Lalu apa sifat utama dalam ketunggalan Zat-Nya itu? Allah sendiri yang menjawabnya: Dia menetapkan atas Diri-Nya RAHMAH (6:12). Karena yang ada dalam Diri-Nya adalah RAHMAH maka (seluruh realitas) yang menjelma dari Diri-Nya sudah barang tentu juga  merupakan (berkas cahaya) RAHMAH Nya.
3). Lalu apa perbedaan antara ar-Rahman dan ar-Rahim? Pertama, susunan ini (ar-Rahman ar-Rahim) tidak pernah bertukar. Tidak pernah ar-Rahim mendahului ar-Rahman.. Kedua, dalam al-Qur’an, jumlah kata ar-Rahman (57 kali) lebih sedikit daripada ar-Rahim (97 kali). Ketiga, Allah sering sekali menggunakan ar-Rahman sebagai pengganti bagi diri-Nya. Contohnya: Birrahman (19:18), setara dengan Billah;  Lirrahman (19:26, 44 dan 92), setara dengan Lillah; Minarrahman (19:45) seara dengan Minallah; ‘Alarrahman (19:69) setara dengan ‘Alallah; ‘Indarrahman (19:78 dan 87), setara dengan ‘Indallah; Illarrahman (19:85), setara dengan Ilallah; Ayaturrahman (19:58), setara dengan Ayatullah;  ‘Ibadurrahman (25:63), setara dengan ‘Ibadullah; dst.
Itu tidak pernah terjadi pada ar-Rahim. Yang bisa kita tangkap dari semua itu ialah bahwa Rahman-Nya Allah mencakup seluruh realitas yang ada, sementara Rahim-Nya hanya diberikan kepada hamba-Nya yang benar-benar beriman (33:43). Rahim-Nya adalah tambahan terhadap Rahman-Nya. Tetapi meski hanya tambahan, kualitasnya jauh lebih tinggi daripada Rahman-Nya. Ini pertanda bahwa nilai orang beriman jauh melampaui semua itu. Itu juga sebabnya mengapa Allah mengatakan bahwa budak beriman lebih mulia daripada orang merdeka beserta seluruh kelebihan lahiriah mereka (2:221).
4). Di dalam al-Qur’an ada satu Surat yang bernama ar-Rahman, yang juga dimulai dengan kata ar-Rahman sebagai satu ayat yang berdiri sendiri. Kemudian ditutup dengan ayat: Mahasuci Nama Tuhanmu yang memiliki Ketinggian dan Kemuliaan (55:78). Di surat ini ada satu kalimat (ayat) yang berulang sebanyak 31 kali (sama dengan jumlah terbanyak hari dalam satu bulan). Yaitu: maka nikmat Tuhan yang manakah yang kalian dustakan? Maksudnya, setiap hari manusia harus bersyukur atau berterima kasih kepada Allah, kepada ar-Rahman (yang telah menciptakan seluruh realitas), agar mereka mengimani-Nya, agar mereka mendapatkan Rahim-Nya.

Ayat 4
(Yang Menguasai Hari Pembalasan)
1). Kata malik bisa berarti “pemilik” bisa juga berarti “penguasa” atau “raja”. Keduanya bermakna sama. Sebab jika kita memiliki (sesuatu), secara otomtis kita juga berkuasa (atas sesuatu tersebut).  Begitu juga jika kita menguasai (sesuatu), sudah tentu kita juga memilikinya. Pemilik dan penguasa mempunyai otoritas mutlak terhadap yang dimiliki dan dikuasainya. Sementara yang dimiliki dan dikuasai harus menyerahkan diri secara mutlak kepada pemilik dan penguasanya. Yang dimiliki dan dikuasai secara mutlak, tidak boleh punya kehendak yang mandiri atau kehendak bebas lagi. Semua kehendaknya adalah kehendak pemiliki dan penguasanya.
2). Kata malik dalam al-Qur’an hanya muncul tiga kali. Dua (1:4 dan 3:26) untuk Allah dan satu (43:77) untuk malaikat penjaga neraka. Di Surat 3:26, Allah menjelaskan posisi-Nya sebagai Malik: “Katakanlah: ‘Wahai Tuhan Pemilik kerajaan (langit dan bumi), Engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tanganMulah (segala) kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu’.”
Perhatikan, betapa sifat Pemilik yang ada pada-Nya tidak menyisakan ruang kehendak sedikitpun pada selain-Nya. Maka pengakuan kita atas ke-Pemilik-an-Nya harus dimaknai sebagai leburnya seluruh kehendak kita ke dalam kehendak-Nya. “Kehendak saya ialah tidak lagi berkehendak,” kata seorang Arif Billah.
3). Yang menarik ialah frase “…. Hari Pembalasan” yang diterjemahkan dari “…. Yaum ad-Dyn”, Padahal kalau diterjemahkan secara harfiah, harusnya terjemahannya: “…. Hari Agama.” Karena kata ad-dyn dalam al-Qur’an lebih banyak merujuk kepada agama. Umpamanya: “Innaddyna ‘indallahil Islam,” [Sesungguhnya agama (yang diterima) di sisi Allah ialah Islam] (3:19). Ingat juga frase Dinul Islam (Agama Islam).
Penjelasan atas masalah ini adalah bahwa pada Hari Pembalasan nanti, manusia benar-benar sudah tidak punya kehendak bebas lagi. Yang ada hanyalah kehendak Allah belaka, Yang akan mengadili manusia berdasarkan (Kitab Undang-Undang) Agama yang telah diturunkan kepada mereka melalui Nabi dan Rasul-Nya. “Tahukah kamu apakah Hari Agama itu? Kemudian (sekali lagi), tahukah kamu apakah Hari Agama itu? (Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak (lagi) memliki kemampuan sedikitpun untuk (menolong) orang lain; dan segala urusan pada hari itu (hanyalah) milik Allah.” (82:17-19).
4). Maka peran agama dalam kehidupan ini tiada lain kecuali membimbing manusia untuk menyamakan kehendaknya dengan kehendak Tuhannya. Karena ‘kehendak’ (iradat) yang ada pada manusia adalah pemberian dari-Nya—yang merupakan bagian dari Kehendak (Iradat)-Nya. Itu sebabnya, orang yang menggunakan kehendak itu bertentangan dengan Kehendak-Nya, disebut durhaka atau berdosa. Orang yang kehendaknya sejalan dengan Kehendak Allah disebut orang taat atau patuh. Maka arti lain dari ad-dyn ialah taat: “Dan kepunyaan-Nya-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi, dan untuk-Nya-lah keta’atan (ad-dyn) itu selama-lamanya. Maka mengapa kamu bertakwa kepada selain Allah?” (16:52)

Ayat 5
( Hanya ) kepada Engkaulah kami menyembah, dan (hanya) kepada Engkaulah kami meminta pertolongan].
1). Ayat 1 sampai 4 semuanya berbicara tentang Dia ( Allah )
Di ayat 5 ini, seakan-akan kita berkata begini: “Ya Tuhan, setelah kami mengenal-Mu dengan benar, sekarang kami yakin bahwa Engkaulah yang pantas kami sembah sehingga Engkau pulalah yang pantas kami mintai pertolongan.” Jadi ayat ini mengasumsikan bahwa kita telah mengenal-Nya (ma’rifatullah) dengan benar, baru kemudian kita mengibadahinya. Karena bagaimana mungkin menyembah sesuatu yang tidak kita kenal. Bagaimana mungkin kita meminta pertolongan kepada sesuatu yang masih kabur di pikiran. Setelah itu, tidak mungkin kita meminta uang kepada sesorang yang kita yakini tidak punya uang. Tidak mungkin kita meminta pertolongan kepada sesorang yang kita yakini tidak bisa memberikan pertolongan.
Ingat.  Awwaluddin ma’rifatullah (awal dari agama adalah mengenal Allah).
2). Konsekuensi logis atas pengakuan kita akan ke-Tuhanan-Nya adalah dengan menyembah-Nya. Konsekuensi logis atas pengakuan kita akan ke-Rajaan-Nya adalah dengan menjadi hamba-Nya (dengan mengikuti seluruh Kehendak-Nya). Konsekuensi logis atas pengakuan kita akan ke-Penguasaan-Nya adalah dengan mematuhi-Nya (dengan mentaati seluruh hukum-Nya). Setelah itu, baru kita berhak meminta (pertolongan) kepada-Nya. Oleh karena itu, kata “nasta’in” ( meminta ) tidak boleh mendahului kata ”na’budu” ( menyembah ). Karena hak meminta nanti muncul setelah menyembah. Orang yang  meminta sebelum mengabdi adalah orang yang tidak tahu diri.
3). Kata “na’budu” satu asal kata dengan “’ibādah” ( penyembahan) dan “’ibād” ( hamba ). Bahwa semua manusia adalah hamba-Nya ( dalam pengertian umum ), itu betul. Tetapi hanya manusia yang mengibadahi-Nya dengan sempurnalah yang disebutnya dengan’ibād ( hamba dalam pengertian khusus ). Hamba dalam pengertian ’ibād inilah yang dimaksud dalam ayat ini:  “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu ( Muhammad ) tentang Aku, maka sungguh Aku dekat ( kepadanya ). Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila mereka berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu ( tetap ) memenuhi-( perintah ) Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada di jalan yang benar.” ( 2:186 )
4). Perbuatan ‘meminta’ mempunyai dua pengertian: hakiki ( sejati ) dan majazi ( semu ). Kepada sesama kit boleh meminta, karena kalau tidak saling meminta, kehidupan tidak bisa berjalan. Tetapi meminta dalam pengertian ini sifatnya semu. Sebab seperti telah diuraikan pada ayat sebelumnya, pemilik dan penguasa sejati segala sesuatu adalah Allah. Maka apa yang manusia aku sebagai miliknya, pada hakikatnya adalah semu. Meminta dalam pengertian hakiki inilah yang disebut isti’anah ( bentuk isim/kata-benda dari kata-kerja nasta’in ). Sehingga objek isti’anah dalam al-Qur’an selalu Allah. “Musa berkata kepada kaumnya: ‘Mintalah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) milik Allah; Dia mewariskan kepada siapa yang Dia keihendaki diantara hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa’,” ( 7:128 ). Saat menempati posisi sebagai objek isti’anah, Allah menyebut diri-Nya dengan al-Musta’an, Yang dimintai pertolongan, ( 12:18 dan 21:112 ).
5). Ada dua kata yang sering menyertai kata isti’anah ini. Yaitu kata SABAR dan SALAT ( 2:45 dan 153 ). Dan urutan ini tidak pernah bertukar. Sabar mendahului salat boleh jadi karena sabar itu adalah kualitas pribadi yang mutlak menyertai pemiliknya setiap saat. Sementara salat hanya dilakukan lima kali sehari semalam. Sabar juga dibutuhkan agar setiap saat kita tetap istiqamah  berpegang pada prinsip hakiki di atas tadi. Yaitu bahwa apapun yang kita lakukan, apapun profesi dan pekerjaan kita dalam mencari nafkah, sejatinya Allahlah yang kita ‘minta’ melalui hukum sebab-akibat yang ada pada perbuatan atau pekerjaan atau profesi tersebut. Ini yang menyebabkan kata SABAR lebih banyak ( yang menyandingi kata isti’anah ) ketimbang SALAT.

Ayat 6
(Tunjukilah kami jalan yang lurus)
1). Menurut al-Qur’an, manusia itu bukanlah makhluk yang statis, yang berhenti di masa kini. Sebaliknya, manusia adalah makhluk yang sedang berjalan ( musafir ) meninggalkan masa lalu menuju masa depan. Masa lalu tubuh biologisnya adalah tanah, masa depannya pun adalah tanah. Sementara masa lalu tubuh ruhaniahnya adalah (dari) Allah dan masa depannyapun adalah ( kembali kepada ) Allah : Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un [ sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kepada-Nya (pulahlah) kita akan kembali ] ( 2:156 ).
Sebagai makhluk yang berjalan ( musafir ), maka kebutuhan pertama dan utamanya adalah PETUNJUK ( hudan ). Karena orang yang berjalan tanpa petunjuk niscaya tidak akan sampai ke tempat tujuan. Begitu sakralnya doa ini sehingga Allah mewajibkannya dibaca dalam salat. Dan karena salat adalah tiang agama, maka bisa difahami bahwa doa ini termasuk tiang dari tiang agama, sebab tidak ada salat bagi mereka yang tidak baca Surat al-Fatihah.
2). Doa ini didahului oleh pengenalan yang sempurna akan Allah ( di ayat 1-4 ). Karena bagaimana mungkin kita berjalan menuju ke sesuatu yang tidak kita kenal. Maka tujuan perjalanan harus selesai di kepala sebelum perjalanan kita teruskan.
Kata Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya, tindakan bermula setelah pikiran selesai. Tujuan itu bahkan tidak cukup kita kenal dengan baik, tapi juga harus kita imani dengan sungguh-sungguh. Jadi asumsinya, doa ini kita ungkapkan setelah kita mengimani hakikat keberadaan Allah dan kaitannya dengan seluruh realitas ( seperti dibahas di ayat3 ). Itu sebabnya doa ini kita ungkapkan di dalam Salat karena hanya orang yang berimanlah yang akan melaksanakan salat. “… wa man yu’min billah yahdi qalbahu…”  ( dan siapa yang beriman kepada Allah, Dia akan memberi petunjuk ke dalam kalbunya ) (64:11). “Ke dalam kalbunya”, tentu maksudnya ke dalam pikirannya. Karena pikiranlah yang membuat manusia jadi manusia. Dan Allah-lah yang berhak memberikan petunjuk itu sebab Dia-lah yang paling tahu jalan untuk sampai kepada-Nya. Jadi bukan temuan dari pikiran manusia.
3). Lalu kenapa petunjuk yang kita minta itu disebut secara eksplisit sebagai jalan yang lurus ? Jawabannya: karena jalan selainnya adalah jalan yang bengkok, jalan yang menyesatkan. Dan, dalam al-Qur’an, kata shirath ( jalan ) itu selalu dalam bentuk tunggal; tidak pernah berbentuk jamak/plural. Artinya, bahwa jalan-lurus itu cuma satu. Sehingga, dalam kaitan ini, pluralisme tertolak. Ilmu geometri pun mengajarkan bahwa garis lurus yang menghubungkan dua titik cuma satu. Jika kita menggunakan argumen ini untuk memahami alasan diturunkannya nabi demi nabi untuk mengajarkan agama demi agama, maka tiap agama adalah satu garis lurus yang kemudian disambung oleh garis lurus berikutnya. Sehingga dari nabi pertama hingga nabi terakhir membentuk satu garis lurus panjang yang merentang dari nabi pertama hingga akhir zaman. Dan nabi berikutnya diutus karena ajaran ( agama ) nabi sebelumnya telah dibengkokkan oleh para pengikutnya sendiri. Agama kemudian terdistorsi dan terpolarisasi yang berbuntut pada munculnya puluhan sekte-sekte dalam agama tersebut.

Ayat 7
[(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat].

1). Pengulangan kata “shirath” (jalan) di ayat ini menunjukkan bahwa Allah hendak mengunci pengertian kata “shirath” tersebut sehingga kita tidak terjerumus ke dalam pengertian yang abstrak, rabun dan terbuka. Terbukti dengan disambungnya kata (shirath) ini dengan kata “alladzyna” (isim maushul/kata penyambung), yang berfungsi mendeskripsikan kata sebelumnya dengan kalimat lengkap sesudahnya. Sehingga pengertian kata “shirath” di sini tidak boleh keluar (atau tidak boleh difahami lain) dari isi kalimat sesudahnya: an’amta ‘alayhim (orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya), ghayril maghdlubi ‘alayhim [bukan (jalan) mereka yang dimurkai], dan wa lād-dlāllyn [dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat].

2). Frase “shiratal-mustaqym” (jalan yang lurus) di ayat yang lalu berbentuk ‘kumpulan teks’, ‘konsep’, ‘gagasan’, ‘ajaran’. Walaupun arti harafiahnya—setelah membacanya—tersaji sangat jelas di layar pikiran kita, tetapi saat bertindak dengan shiratal-mustaqym, sangat mungkin tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh si Pemberi shiratal-mustaqym itu. Sebab masih dimungkinkan terjadinya senjang yang lebar antara arti harafiah yang difahami pikiran tadi dengan pemangku komando diri yang bernama AKU. Maka demi mencegah kejadian seperti ini, Allah selalu menyertakan figure hidup yang juga berpredikat shiratal-mustaqym, yang telah terakreditasi oleh-Nya. Maka setiap Nabi dan Rasul dan orang-orang yang ditugaskan melanjutkan risalah mereka adalah figur shiratal-mustaqym itu sendiri. Hubungan di antara keduanya bisa diterangkan seperti ini: shiratal-mustaqym ini tereksposisi (terpapar) ke dalam diri figur dan diri figur ini juga tereksposisi (terpapar) ke dalam shiratal-mustaqym, sehingga tidak ada dualitas di antara keduanya. Sehingga ada shiratal-mustaqym yang maktub (terkonseptualisasi) da ada yang maf’ul (teraktualisasi).

3). Figur itulah yang dimaksud: an’amta ‘alayhim (orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya). Itu sebabnya ni’mat yang dimaksud di sini pasti bukan hal-hal yang bersifat material. Jika mencermati penggunaan kata ni’mat dalam al-Qur’an, maka makna yang dikandungnya kebanyakan merujuk kepada ajaran agama (shiratal-mustaqym secara konseptual) yang tereksposisi ke dalam figur nabi dan orang-orang yang mewarisinya (lihat misalnya: 2:40 dan 231, 3:103, 5:3 dan 7, dan 37:57). Detail paling rinci mengenai figur orang-orang yang mendapatkan ni’mat itu diungkapkan oleh ayat ini: “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, shiddiiqiin, syuhāda’, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (4:69) Dan ayat ini: “Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi ni'mat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil (Nabi Ya’qub), dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayātur Rahman (ayat-ayat Allah) kepadanya, mereka menyungkur seraya bersujud dan menangis.” (19:58)

4). Untuk melokalisasi figur an’amta ‘alayhim, sehingga tidak terkacaukan oleh figur lain, kelanjutan ayat menggunakan kata “ghayr” (bukan) yang bermakna negasi atau penolakan terhadap figur lain tersebut: al-maghdlub (yang dimurkai) dan ad-dlallyn (yang sesat). Siapakah mereka ini? Sederhananya, tentu mereka yang tidak meniti jalan shiratal-mustaqym. Untuk figur al-maghdlub, dengan mudah kita mengidentifikasinya melalui penelusuran kata “gha-dli-ba” dalam al-Qur’an, yang ternyata hanya ada 5 (lima) ayat: 4:93, 5:60, 48:6; 58:14, dan 60:13. Dari kelima ayat tersebut keluar 3 (tiga) postur. Pertama, mereka yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja (4:93). Kata ‘seorang’ harus dipertegas, karena apatah lagi jika membunuh banyak orang mukmin. Dan membunuh di sini tentu tidak harus  diartikan ‘dengan tangan sendiri’, sebab boleh jadi yang bersangkutan hanya mengobarkan perang, memerintahkan atau cuma berdiri di belakang layar sebagai aktor intelektual. Kedua, orang-orang Yahudi yang maninggalkan Hari Sabat karena terpukau oleh kenikmatan dunia (5:60). (Bandingkan juga dengan 62:11). Ketiga, orang munafik dan orang musyrik (48:6). Setelah al-maghdlub terdefenisikan begitu transparannya, Allah kemudian melarang kita untuk berwilayah kepada mereka (60:13). Dan siapa yang berwilayah kepada mereka, Allah mengancamnya dengan azab yang sangat keras dan menyebut itu sebagai perbuatan yang paling buruk (58:14-15).

5). Terakhir, ad-dlallyn (yang sesat). Yang termasuk dalam golongan ini ialah: satu, mereka yang tidak menemukan kebenaran sehingga menjadikan agama sekedar sebagai tempat transit atau beragama berdasarkan asumsi-asumsi, atau bahkan mendustakan ayat-ayat Allah (3:90, 6:77, 23:106). Dua, orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya (15:56). Tiga, orang jahiliyah , yang menjadikan ibadah sekedar sebagai kebanggaan primordial (2:198). Kalau : al-maghdlub adalah mereka yang telah berhasil mengidentifikasi diri sebagai penentang agama Allah (shiratal-mustaqym), baik dari luar ataupun dari dalam, maka ad-dlallyn adalah mereka yang tidak bisa mengidentifikasi diri dengan tegas di jalan mana mereka sedang bergerak. Andai mereka menganut suatu agama, maka merekapun menganutnya secara dogmatik belaka.
والله اعلم
Salam satu tujuan
Salam satu sanad
AMB elJawie

0 komentar:

Posting Komentar

BERSYUKURLAH KEPADA SUAMI karena ALLOH,,,,,,,,,,,,,,,,

 o0o_بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــم_ oOo BAHAGIA itu,,, sangat SEDERHANA (31) oOo السلام عليكم ورحمة الله وبركاته oO...