Rabu, 20 November 2013

 


Sudah banyak buku yang menulis bukti-bukti ilmiah keaslian Al-Quran sebagai firman Tuhan. Banyak juga ilmuwan yang menemukan bukti ilmiah baru tentang kemukjizatan Al-Quran, di antaranya:

Dr. Gary Miller
Ilmuwan ini mengatakan bahwa sebelum Al-Quran diturunkan dan Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, seorang filsuf Yunani Democritus telah menyampaikan pendapatnya tentang atom. Democritus dan para filsuf berkata, “Materi terdiri atas partikel-partikel yang sangat kecil yang tidak terlihat dan tidak bisa dibagi. Partikel-partikel itu disebut atom.” Itulah definisi atom secara ilmiah yang diketahui manusia selama ribuan tahun.
Orang Arab telah mengetahui definisi itu jauh sebelum Islam datang. Buktinya, kata dzarrah atau atom menurut orang Arab adalah bagian terkecil yang diketahui oleh manusia. Namun, sekarang ini ilmu pengetahuan modern menemukan bahwa atom yang dianggap bagian terkecil dari materi ternyata masih bisa dibagi lagi. Hal ini dianggap sebagai penemuan baru dalam science modern. Yang sangat mengherankan, Al-Quran yang diturunkan empat belas abad yang lalu ternyata telah lebih dulu memberikan informasi ilmiah ini. Allah berfirman dalam surah Yunus: 61.
Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar dzarrah (atom) di bumi maupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak ada yang lebih besar dari itu melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (lauhul mahfudz).
Tidak diragukan lagi penjelasan bahwa ada yang lebih kecil dari atom seperti yang ada dalam ayat di atas adalah hal yang samasekali tidak populer ketika Al-Quran diturunkan. Yang diketahui manusia saat itu materi terkecil adalah atom, dan atom tidak bisa dibagi, artinya tidak ada yang lebih kecil dari atom. Dari mana Al-Quran bisa memberikan informasi ilmiah yang jauh melampaui apa yang ditemukan manusia saat itu. Tak lain adalah dari Allah. Ini membuktikan bahwa Al-Quran adalah firman Allah yang tidak lekang oleh zaman.

Dr. Maurice Bucaille
Dia adalah seorang dokter ahli bedah terkenal di Perancis. Saat Presiden Francois Mitterand terpilih menjadi presiden Perancis pada 1981, pemerintah Perancis di penghujung tahun delapan puluhan meminta kepada pemerintah Mesir untuk melakukan penelitian terhadap mumi Fir’aun di Perancis. Karena itu, untuk sementara tubuh mumi itu dipindahkan ke Perancis. Mumi itu lalu diletakkan di dalam ruangan khusus di Museum Pusat Perancis untuk diteliti oleh para pakar arkeologi dan dokter ahli bedah agar misteri seputar mumi itu terungkap.
Yang menjadi ketua dari para pakar dan ahli bedah dalam penelitian terhadap mumi itu adalah dokter bedah paling cemerlang saat itu, yaitu Dr. Maurice Bucaille. Para peneliti itu ingin mengetahui apa sesungguhnya yang menyebabkan kematian Fir’aun.
Setelah melakukan penelitian dengan saksama, mereka pun menemukan jawaban ilmiah kenapa Fir’aun mati. Sisa-sisa garam yang lengket pada tubuhnya, juga sebagian ada di tenggorokan dan alat pencernaan merupakan bukti kuat bahwa Fir’aun mati di laut. Ketika orang-orang saat itu menemukan jasad Fir’aun di laut, mereka langsung memumikannya agar awet. Namun, yang menjadi pertanyaan besar di benak Dr. Maurice Bucaille adalah bagaimana jasad Fir’aun tetap bisa utuh ketika ditemukan di laut?
Saat itu ada seorang anggota tim yang ia pimpin berbisik padanya, “Sebenarnya umat Islam sudah membicarakan mengenai tenggelamnya jasad ini dan keutuhan tubuhnya setelah tenggelam.”
Namun, Dr. Maurice Bucaille saat itu tidak mengacuhkan informasi itu dan menganggapnya sebagai angin lalu. Dia meyakini bahwa penemuan baru mengenai apa yang terjadi pada mumi Fir’aun itu tidak akan terjadi kecuali melalui serangkaian penelitian dengan menggunakan metode dan alat yang canggih.
Lalu, dokter ahli bedah lain yang memiliki tanggung jawab yang sama dalam penelitian mumi itu mengatakan, “Benar, sungguh Al-Quran, kitab suci yang dipercayai kaum Muslim itu telah menceritakan bagaimana Fir’aun mati tenggelam dan memastikan keutuhan tubuhnya setelah tenggelam.”
Dr. Maurice Bucaille tercengang tidak percaya. Dia merasa itu hal yang aneh. Mumi itu belum ditemukan hingga tahun 1898 M, sementara kitab Al-Quran sudah ada sejak 1400 tahun yang lalu. Bagaimana kitab suci Al-Quran bisa memberikan informasi itu, padahal seluruh manusia termasuk juga bangsa Arab tidak mengetahui apa pun tentang kehidupan Mesir kuno. Manusia baru tahu setelah jasad mumi itu ditemukan bersama peninggalan Mesir kuno lainnya.
Pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiran ahli bedah dari Perancis ini. Ia mulai berpikir tentang kemukjizatan Al-Quran. Ia duduk merenung di hadapan jasad mumi Fir’aun. Kitab suci umat Kristiani memang juga menceritakan tenggelamnya Fir’aun ketika mengejar Musa, tetapi Injil Matius dan Lukas itu tidak menceritakan sedikit pun keutuhan jasadnya setelah tenggelam.
Hari berikutnya, ia minta kepada beberapa ahli bedah untuk membawa Taurat, kitab suci orang Yahudi. Dia membaca kitab itu. Ia kecewa karena kitab itu tidak menceritakan jasadnya akan utuh. Yang diceritakan hanyalah Fir’aun mati tenggelam. Kitab itu hanya mengabarkan, “Kemudian berbaliklah air laut itu, lalu menutupi kereta dan orang berkuda dari seluruh pasukan Fir’aun, yang telah menyusul orang Israel itu ke laut, hingga tak tersisa seorang pun dari mereka.”
Setelah jasad mumi dikembalikan ke Mesir, Dr. Maurice menghadiri konferensi kedokteran di Saudi Arabia. Ia ingin bertemu dengan para dokter Muslim dan menanyakan benar tidaknya apa yang disampaikan rekannya itu. Konferensi itu memang membahas keutuhan jasad Fir’aun setelah tenggelam.
Di tengah acara, sorang ilmuwan Muslim membuka hati Dr. Maurice Bucaille yang sedang mencari hakikat Al-Quran. Ilmuwan Muslim itu membacakan ayat suci Al-Quran surah Yunus: 92.
“Maka pada hari itu Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan manusia lalai dari tanda-tanda kekuasaan Kami.”
Ayat suci itu membuat tubuh Dr. Maurice Bucaille bergetar. Seketika itu ia berkata dengan suara lantang, “Aku masuk Islam dan aku beriman pada Al-Quran ini.” Ia sangat yakin bahwa Al-Quran benar-benar firman Allah.

Dr. Keith L. Moore
Dia adalah seorang ilmuwan ahli embriologi terkenal dari Amerika. Suatu hari ia membaca artikel bahwa Al-Quran menjelaskan ihwal pertumbuhan janin dari masa pembuahan sampai lahir. Saat itu Dr. Keith L. Moore hampir tidak percaya. Sebab, menurutnya, pengetahuan embriologi baru diketahui oleh manusia belakangan ini, terutama sejak ditemukannya mikroskop dan piranti-piranti canggih ilmu kedokteran modern lainnya.
Untuk membuktikan kebenaran tulisan itu, Dr. Keith L. Moore lalu membaca dan mempelajari Al-Quran. Akhirnya, ia terkagum-kagum kepada Al-Quran. Ternyata benar, Al-Quran memuat ayat-ayat yang menjelaskan tentang embriologi secara lengkap dan tuntas.
Dr. Keith L. Moore mengatakan, “Apa yang tercantum dalam Al-Quran itu sungguh tidak mungkin terjangkau oleh pengetahuan medis pada abad ke-7 Masehi, ketika Nabi Muhammad menyebarkan Islam. Ini suatu mukjizat.”
Berdasarkan temuan ilmiah itulah Dr. Keith L. Moore kemudian masuk Islam dan menjadi seorang Muslim yang saleh. Dr. Keith L. Moore kemudian aktif menangani publikasi Perhimpunan Medika Islam Amerika Utara, Downers’ Grove, Illinois, USA. Tanpa keraguan sedikit pun, Dr. Keith L. Moore mengatakan bahwa rujukan ilmiah tentang perkembangan dan proses reproduksi manusia tersebar di beberapa ayat Al-Quran. Diawali dari surah Az-Zumar: 6, keyakinan Dr. Keith L. Moore mendapatkan pondasi ilmiah yang kukuh. Ditambah dengan surah Al-Mu’minun: 13-14. Lalu, ia menelusuri surah Al-Hajj: 5.
Menurut D. Keith L. Moore, penggambaran tentang fetus, yaitu embrio yang telah berkembang di dalam uterus, baru muncul pertama kali pada abad ke-15 oleh Leonardo da Vinci. Memang jauh sebelumnya pada abad ke-2, Galen pernah menggambarkan plasenta dan selaput-selaput janin dalam buku On the Formation of the Foetus. Tetapi, itu jauh berbeda dengan yang diuraikan pada abad ke-7. Ketika itu, para ahli medis sudah tahu bahwa embrio manusia berkembang di dalam uterus, hanya saja tak seorang pun yang mengetahui bahwa perkembangan itu berlangsung secara bertahap. Bahkan, pada abad ke-15 pun belum didiskusikan, apalagi digambarkan. Setelah mikroskop ditemukan oleh Leeuwenhook pada abad ke-16, barulah penjelasan tentang tahapan permulaan embrio ayam diselidiki para ahli.
Pengetahuan tentang penahapan embrio manusia dan bentuknya setiap tahap tidak terbayangkan hingga abad ke-20 ketika Streeter (1941) dan O’Rahilly (1972) mengembangkan sistem penahapan yang pertama kali. Apalagi, tentang tiga lipat kegelapan yang ternyata maksudnya adalah tiga lapisan, yaitu dalam lapisan dinding perut, dinding rahim, dan selaput janin. Al-Quran menjelaskan:
Kemudian Kami menjadikan air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kukuh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan alaqah (sesuatu yang melekat), lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik.
Jika dicermati lebih dalam, sebenarnya alaqah dalam pengertian etimologis yang biasa diterjemahkan dengan segumpal darah juga bermakna kepada pengisap darah, yaitu lintah. Padahal, tidak ada pengumpamaan yang lebih tepat ketika embrio berada pada tahap itu, yaitu 7-24 hari, selain seumpama lintah yang melekat dan menggelantung di kulit. Embrio itu seperti mengisap darah dari dinding uterus karena memang demikianlah yang sesungguhnya terjadi, embrio itu makan melalui aliran darah. Itu persis seperti lintah yang mengisap darah. Janin juga begitu, sumber makanannya adalah dari sari makanan yang terdapat dalam darah sang ibu. Ajaibnya, jika embrio janin dalam tahap itu diperbesar dengan mikroskop, bentuknya benar-benar seperti lintah.
Mungkinkah saat itu Muhammad sudah memiliki pengetahuan sedemikian dahsyat tentang bentuk janin yang seperti lintah, lalu menulisnya dalam sebuah buku. Padahal, saat itu belum ditemukan mikroskop dan lensa. Karena itu, pengetahuan tentang embrio manusia yang mirip lintah, yang dijelaskan oleh Al-Quran tidak mungkin bersumber dari akal manusia. Jelas itu adalah pengetahuan dari Tuhan, wahyu dari Allah, Tuhan seluruh alam, Yang Maha Mengetahui segala sesuatu.

Source: Novel Bumi Cinta (Author Publishing, 2010) karya Habiburrahman El Shirazy

0 komentar:

Posting Komentar

BERSYUKURLAH KEPADA SUAMI karena ALLOH,,,,,,,,,,,,,,,,

 o0o_بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــم_ oOo BAHAGIA itu,,, sangat SEDERHANA (31) oOo السلام عليكم ورحمة الله وبركاته oO...