Moh Najib Buchori
Di penghujung 2004 sebuah gempa yang disusul dengan tsunami menghantam salah satu wilayah Indonesia, Aceh. Tsunami Aceh yang disebut-sebut sebagai salah satu bencana terbesar di dunia telah meluluh-lantakkan sebagian besar wilayah yang dijuluki “serambi Makkah”. Apa yang sebenarnya sedang menimpa 4 juta muslim di bumi serambi Makkah? Azabkah atau cobaan dari Allah? Bertolak dari sebuah peristiwa aktual di atas, Syaikhuna KH Maimoen Zubair mencoba menjelaskan pandangannya tentang bencana alam dari sudut pandang Al-Quran dan Hadis. Ada dua hal pokok yang disampaikan Syaikhuna berkaitan dengan bencana Alam.
Pertama, tentang hakikat bencana.
Kedua, bahwa peristiwa
bencana alam adalah salah satu bukti atas kerasulan Nabi Muhammad.
Sebagai salah seorang ulama yang mutabahhir fi ulumiddin dan
kenyang dengan pengalaman sosial, pandangan dan analisa Syaikhuna sangat tajam
dan jeli, didukung dengan pemahaman terhadap teks Quran dan Hadis yang akurat
dan sangat mendalam, dan dipadu dengan pengamatan sosial yang empiris. Dan
sebagai seorang kyai, beliau tidak hanya menganalisa dan mengamati suatu
peristiwa, tetapi juga memberikan nasihat dan solusi untuk kebaikan umat Islam.
Berikut pandangan Syaikhuna yang disadur dari risalah
beliau الكارثة فى أتشيه
Bencana Alam Dari Sudut Pandang Agama
Syaikhuna KH Maimoen Zubair melihat tsunami Aceh sebagai
bencana yang sama, bahkan lebih dahsyat dibanding bencana yang menimpa kaum
nabi Hud. Bencana semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga
pernah dialami negara negara Islam lain. Menurut beliau apa yang terjadi di
Aceh adalah Ayat Kauniyah yang kasat mata sebagai tanda atas keuasaan Allah
sekaligus sebagai peringatan (takhwif) kepada hambaNya. Allah berfirman :
وما نرسل بالآيات إلا تخويفا [الإسراء:59]
“Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk
menakuti.” (QS. 17;59).
Selanjutnya Syaikhuna KH Maimoen Zubair menjelaskan bahwa
tanda-tanda Allah bisa berupa tanda yang didengar (ayat sam’iyah), yaitu ayat
Al-Quran, atau tanda alam yang kasat mata (ayat kauniyah), yaitu fenomena alam.
Bagi orang orang berakal (ulul albab) ayat sam’iyah bisa menjadi petunjuk ke
jalan yang benar. Allah berfirman :
ذلك يخوف الله به عباده . يا عباد فاتقون
[الزمر: 16 ]
“Demikianlah Allah mempertakuti hamba-hambaNya dengan adzab
itu. Maka bertaqwalah kepada-Ku hai hamba-hambaKu.” (QS. 39:16).
والراسخون في العلم يقولون آمنّا به كلّ
من عند ربّنا وما يذكر إلا أولوا الألباب
[آل عمران: 7 ]
“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami
beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semua itu dari sisi Tuhan kami.” Dan
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang
berakal.” (QS.3:7).
Tetapi bagi mereka yang bebal rasa dan pikiran, ayat
sam’iyah tidak akan dapat menyentuh kesadaran religius mereka. Justru
sebaliknya, ayat sam’iyah akan semakin menyuburkan kedurhakaan dan menjauhkan
mereka dari kebenaran.
وما جعلنا الرؤيا التي أريناك إلا فتنة
للناس والشجرة الملعونة في القرآن ونخوّفهم فما يزيدهم إلا طغيانا كبيرا
“Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan
kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu
yang terkutuk dalam al-Qur’an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang
demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.” (QS.17:60).
Di sinilah urgensi ayat kauniyah. Allah menurunkan ayat
kauniyah sebagai bentuk belas kasih kepada mereka yang bebal rasa dan pikiran,
agar mereka sadar. Sebab, mereka adalah orang-orang yang tidak dapat disentuh
kesadarannya dengan kata kata, dan karenanya sebuah kenyataan pahit bisa jadi
menyadarkan mereka. Jika mereka mau merenunginya lalu insyaf dan sadar, maka
Allah akan mengampuni segala kedurhakaan di masa lalu. Tetapi jika mereka
bergeming dengan kedurhakaan dan kecongkakannya, maka sesungguhnya Allah maha
kuasa untuk melakukan apapun yang dikehendakiNya.
فلولا إذ جاءهم بأسنا تضرعوا ولكن قست قلوبهم
وزيّن لهم الشيطان ما كانوا يعملون
“Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan
tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati
mereka telah menjadi keras dan syaitan pun menampakkan kepada mereka kebagusan
apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS.6:43).
ولو أخذناهم بالعذاب فما استكانوا لربّهم
وما يتضرّعون
“Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan adzab kepada
mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka, dan (juga) tidak memohon
(kepadaNya) dengan merendahkan hati.” (QS. Al-Mu’minun: 76).
Jika ditelusuri lebih dalam, maka setiap bencana yang
menimpa sejatinya adalah ayat kauniyah yang diperdengarkan. Bagi yang beriman
setiap ayat yang diperdengarkan, baik sam’iyah maupun kauniyah, akan semakin
mempertebal keimanannya.
وإذا تليت عليهم آياته زادتهم إيمانا وعلى
ربهم يتوكلون
“…dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah
iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal:
02).
Tetapi bagi orang orang yang tidak mau merenung, ayat apapun
yang diperdengarkan tidak akan pernah menggoyahkan keangkuhan dan kedurhakaan
mereka. Sedangkan bagi orang orang yang mau insyaf, ayat yang diperdengarkan
akan menjadikan mereka tunduk kepada Allah dan bersedia mengikuti jalan orang
orang yang beriman.
Dengan demikian jelaslah bahwa bencana sebagai personifikasi
ayat kauniyah adalah azab dan pada saat yang sama juga rahmat. Ia adalah azab
hanya bagi orang orang yang berbuat dosa, bukan bagi seluruh umat manusia.
وما أصابكم من مصيبة فبما كسبت أيديكم ويعفو
عن كثير
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah
disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar
(dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. As-Syuro: 30).
ما أصابك من حسنة فمن الله وما أصابك من
سيئة فمن نفسك وأرسلناك للناس رسولا وكفى بالله شهيدا
“Apa saja ni’mat yang pernah kamu peroleh adalah dari Allah
dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami
mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi
saksi.” (QS. An-Nisa’: 79).
Dan bagi orang orang saleh ia adalah rahmat, ujian bahkan
juga seleksi. Bencana adalah ayat kauniyah Allah yang akan semakin mempertebal
keimanan mereka, sama dengan ayat ayat al-Quran. Ummu Salamah mengkisahkan
bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda, “jika kemaksiatan telah melanda umatku,
maka Allah akan menimpakan azab kepada mereka”. Ummu Salamah bertanya,
“Bukankah didalamnya terdapat orang orang saleh?”. Rasulullah menjawab,
“Benar”. Ummu Salamah bertanya lagi, “Lalu apa yang terjadi pada mereka?”.
Rasulullah menjawab, “mereka mengalami apa yang dialami orang lain, lalu mereka
mendapatkan pengampunan dan ridlo dari Allah.” (Ahmad:25382).
Seorang penyair berkata :
BagiMu segala puji, sesungguhnya bencana adalah pemberian
Dan musibah adalah sebagian derma
Jadi, sejatinya azab hanya ditimpakan kepada mereka yang
berbuat dosa, tetapi orang yang saleh juga merasakan getahnya. Sebab, setiap
kali azab ditimpakan kepada suatu umat, maka azab itu akan dirasakan seluruh
orang yang ada di dalamnya.
Dalam Bab Idza Anzala Allahu bi-Qoumin ‘adzaban, Bukhori
menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika Allah menurunkan adzab kepada
suatu kaum, maka adzab itu akan menimpa siapapun yang termasuk di dalam kaum
tersebut. Kemudian mereka dibangkitkan berdasarkan amal perbuatan masing
masing”.(Buckhori:6575)
Dalam Syarahnya, Ibnu Hajar mengutip riwayat Shohih Ibnu
Hibban dari Aisyah: “Ketika Allah menurunkan tamparanNya kepada ahli siksa,
sementara di dalamnya ada orang orang saleh, maka orang orang saleh itu akan
turut dibinasakan bersama ahli siksa. Kemudian mereka akan dibangkitkan
berdasarkan niat dan amal masing masing”. Ibnu Hajar juga mengutip riwayat
Baihaqi dalam asy-Syu’ab: “Ketika keburukan melanda di muka bumi, maka Allah
menurunkan bencanaNya kepada mereka”. Ditanyakan, “(meskipun) di dalamnya ada
orang orang taat?”. Rasulullah menjawab, “ya, kemudian mereka dibangkitkan
menuju rahmat Allah”.
Tentang hal ini Ibnu al-Qoyyim, seperti para ulama salaf,
mengatakan bahwa adakalanya Allah mengijinkan bumi mengalami gempa, dan
terjadilah gempa dahsyat. Lalu gempa itu menumbuhkan rasa takut, khawatir,
keinginan bertaubat dari maksiat, tunduk kepada Allah dan penyesalan.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa pada masa Rasulullah
Madinah pernah diguncang gempa. Lalu Raulullah bersabda, “Sesungguhnya Tuhanmu
memerintahkanmu untuk mendapatkan ridloNya. Karena itu ridlokanlah Tuhanmu”
(Mushannafu Ibnu Abi Syaibah: 302,2)
Dikisahkan dari Shofiyyah bahwa pada masa Umar Madinah
pernah diguncang gempa. Lalu Umar berkata, “Betapa cepat apa yang kalian
timbulkan (bencana). Seandainya gempa itu kembali mengguncang maka pasti aku
termasuk di dalamnya (ikut kena getahnya)”. (Ibnu Abi ad-Dunya :17)
Ibnu Abi ad-Dunya mengisahkan bahwa Anas bin Malik dan
seorang laki-laki menemui Aisyah. Laki-laki itu berkata, “Wahai Ummil Mu’minin,
ceritakan kepadaku tentang gempa” Aisyah menjawab, “Ketika orang-orang telah
menghalalkan perzinaan, minuman keras dan alat musik, maka Allah murka dan
memerintahkan kepada bumi, “Gempalah kepada mereka. Jika mereka bertaubat dan
insyaf (berhentilah). Dan jika tidak, hancurkanlah mereka.” Laki-laki itu
kembali bertanya, “Wahai Ummil Mu’minin, apakah sebagai sanksi kepada mereka?”.
Aisyah menjawab, “sebaliknya, (hal itu) merupakan nasihat dan rahmat bagi orang
beriman; dan pembalasan, siksa serta murka bagi orang orang kafir”. (Ibnu Abi
ad-Dunya :20).
Selanjutnya Syaikhuna KH Maimoen Zubair mengingatkan bahwa
di dalam syariat Islam hukum ditetapkan berdasarkan apa yang tampak di
permukaan. Sedangkan apa yang tidak tampak diserahkan ketetapan hukumnya kepada
Allah. Manusia tidak berhak, bahkan juga tidak mampu, mengintervensi apa yang
menjadi hak prerogatif Allah. Kita menghukumi ahlul qiblah dan orang yang
mengucap kalimat tauhid sebagai mu’min. Kita tidak perlu menelisik hakikat
keimanan dan keikhlasan tauhid mereka. Sebab, hal itu merupakan wilayah
kewenangan Allah dan bukan urusan manusia.
Berkaitan dengan hal tersebut, bencana yang mayoritas
korbannya adalah umat Islam, patut direnungkan. Jika kita menilai secara
lahiriyah bahwa mereka mu’min, maka tidak dengan serta merta mereka mu’min
sejati di hadapan Allah. Sebab, penilaian Allah didasarkan pada apa yang
sesungguhnya terjadi. Rasulullah telah mengisyaratkan hal ini ketika besabda,
“Segeralah beramal sebelum terjadi fitnah yang bagaikan tumpukan malam gulita
dimana terjadi: di pagi hari seseorang beriman dan petang harinya sudah menjadi
kafir; atau di petang hari beriman dan pagi harinya berubah menjadi kafir. Ia
menjual agamanya dengan harta yang tak seberapa”. (Muslim:169);
Dalam riwayat Anas bin Malik pun disebutkan bahwa Raulullah
pernah bersabda, “Sebelum hari kiamat akan ada fitnah yang bagaikan tumpukan
malam gulita dimana terjadi seseorang beriman di pagi hari dan sorenya berubah
menjadi kafir; dan seseorang beriman di seore hari lalu manjadi kafir keesokan
harinya. Banyak orang menukar agamanya dengan harta dunia.”(Ibnu Abi
Syaibah:108)
Nabi juga bersabda, “Tak ada seorang nabipun selain ia
memiliki pendukung yang mau mengikuti petunjuknya dan berjalan di atas tradisinya
(sunnah). Lalu lahir generasi berikutnya yang mengatakan apa yang tidak
dilakukan dan melakukan apa yang diinkarinya. Barang siapa berjuang dengan
tangannya maka ia adalah seorang mu’min; barang siapa berjuang dengan
kata-kata, maka ia adalah seorang mu’min; dan barang siapa berjuang dengan
hatinya, maka juga seorang mu’min. Di luar itu, tak ada lagi keimanan meskipun
hanya seberat biji selada”. (Muslim:71)
Jika demikian, lalu sebenarnya apa yang telah diperbuat umat
Islam hingga Allah mengirimkan ayat kauniyahNya? Pertanyaan ini yang didasari
niat tulus untuk melakukan instropeksi dan menyadari kekurangan diri, tentu
sangat penting demi menentukan perilaku yang tepat pasca bencana. Dan perilaku
inilah yang akan menentukan: apakah bencana yang menimpa merupakan siksa yang
berujung keburukan dan kehancuran umat, atau cobaan dan rahmat yang mewariskan
kebaikan serta kesejahteraan umat. Sebab, seperti disampaikan sebagian ulama,
manusia itu mutabayyin (menjadi tahu setelah tidak tahu).
Di akhir bagian ini Syaikhuna KH Maimoen Zubair berdoa,
“Semoga Allah tidak menjadikan umat kita termasuk dua golongan yang akan saya
jelaskan nanti”.
Diantara macam manusia ada orang orang yang bisa sadar cukup
hanya dengan isyarat; orang orang yang bisa sadar setelah mendapatkan
penjelasan panjang lebar; orang orang yang hanya patuh dengan aturan; dan orang
orang yang baru sadar setelah bencana menimpa dirinya atau tetangganya.
Ada dua golongan lagi yang paling buruk, seperti doa yang
dipanjatkan Syaikhuna di atas.
Golongan pertama adalah orang orang yang baru
insyaf di saat ia dalam keadaan sekarat. Allah berfirman :
أو يأتي ربك أو يأتي بعض آيات ربك يوم يأتي
بعض آيات ربك لا ينفع نفسا إيمانها لم تكن آمنت من قبلُ أو كسبت في إيمانها خيرا قل
انتظرورا إنا منتظرون
“…atau kedatangan Tuhanmu atau kedatangan sebagian
tanda-tanda Tuhamnu tidaklah bermanfaat bagi iman seseorang bagi dirinya
sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan
dalam masa imannya. Kakatanlah; “Tunggulah olehmu sesungguhnya kami pun
menunggu (pula).” (QS. 6;158).
Termasuk dalam golongan ini adalah Fir’aun yang durhaka,
seperti diceritakan Allah dalam al-Quran.
حتى إذا أدركه الغرق قال آمنت أنه لا إله
إلا الذي آمنت به بنو إسرائيل وأنا من المسلمين
“…hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah
dia: “Saya percaya bahwa tidaklah ada Ilah melainkan yang dipercayai oleh Bani
Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” ( QS.
10;90).
Tetapi di saat ajal di depan mata, pintu iman dan taubat
telah tertutup dan penyesalanpun tiada guna.
الآن وقد عصيت قبل وكنت من المفسدين فاليوم
ننجيك ببدنك لتكون لمن خلفك آية وإن كثيرا من الناس عن آياتنا لغافلون
“Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya
kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (QS. 10;91).
Golongan kedua adalah orang orang berhati batu yang selalu
berbuat maksiat. Dan karenanya Allah menyesatkan jalanya, mengunci hati dan
pendengarannya serta menjadikan penutup di matanya. Bagi mereka ada peringatan
atau tidak, sama saja: mereka tidak akan beriman. Allah telah menguji mereka
dengan diberi kabaikan dan keburukan, tetapi mereka tidak insyaf. Allah
menghendakkan ayat sam’iyahNya dan memberlakukan ayat kauniyahNya kepada
mereka, tetapi tidak pula mereka insyaf. Lalu Allah menangguhkan azabnya agar
mereka semakin durhaka.
Dan jika saatnya tiba Allah akan mengazabnya
ولقد أرسلنا إلى أمم من قبلك فأخذناهم بالبأساء
والضرّاء لعلهم يتضرعون. فلولا إذ جاءهم بأسنا تضرعوا ولكن قست قلوبهم وزيّن لهم الشيطان
ما كانوا يعملون. فلما نسوا ما ذكروا به فتحنا عليهم أبواب كل شيء حتى إذا فرحوا بما
أوتوا أخذناهم بغتة فإذا هم مبلسون. فقطع دابر القوم الذين ظلموا والحمد لله رب العالمين
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada
umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan)
kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan
tunduk, merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah)
dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan
hati mereka telah menjadi keras dan syaitan pun menampakkan kepada mereka
kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. Maka tatkala mereka melupakan peringatan
yang telah diberikan kepada mereka, kamipun membukakan semua pintu-pintu
kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah
diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka
ketika itu mereka terdiam berputus asa. Maka orang-orang yang dzalim itu
dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
(QS. 6;42-45).
Agar umat kita tidak termasuk dua golongan terburuk ini,
maka mereka harus jujur terhadap diri sendiri dan menyadari bahwa bencana yang
diturunkan Allah merupakan akibat dari keburukan-keburukan yang telah mereka
perbuat. Bencana itu juga diakibatkan oleh ketidak-patuhan mereka terhadap
perintah-perintah Allah, kedurhakaan mereka terhadap Rasul dan keberpalingan mereka
dari jalan benar para ulama yang merupakan pewaris para nabi.
Dengan demikian
murka Allah bisa menjadi rahmat bagi mereka.
وما أصابكم من مصيبة فبما كسبت أيديكم ويعفوا
عن كثير
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah
disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar
(dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. As-Syuro: 30).
ذلك بأن الله لم يك مغيّرا نعمة أنعمها
على قوم حتى يغيّروا ما بأنفسهم وأن الله سميع عليم
“Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah
sekali-kali tidak akan merubah suatu ni’mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada
suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal; 53).
Kemudian mereka harus bertaubat dan beristighfar dengan
cara: menyesali, meninggalkan, serta berjanji tidak akan mengulang dosa dosa
yang diperbuat; mengembalikan harta yang diambil dengan jalan aniaya; lalu
memohon ampun kepada Allah.
وما كان الله ليعذّبهم وأنت فيهم وما كان
الله معذّبهم وهم يستغفرون
“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengajak mereka, sedang
kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengajak mereka,
sedang mereka meminta ampun.” (QS. 8:33).
Sebab taubat dan istighfar adalah dua tiket untuk
mendapatkan rahmat, kebaikan dan berkah. Nabi Nuh, sebagaimana diceritakan
al-Quran, berkata kepada kaumnya:
فقلت استغفروا ربكم إنه كان غفّارا. يرسل
السماء عليكم مدرارا. ويمددكم بأموال وبنين ويجعل كلم جنّات ويجعل لكم أنهارا. ما لكم
لا ترجون لله وقارا
“…maka aku katakana kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada
Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun”, niscaya Dia akan mengirimkan
hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan
mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu
sungai-sungai. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” (QS. Nuh;
10-13).
Selain itu mereka juga harus berendah diri dan kembali
kepada Allah seperti yang dilakukan para ulama dari berbagai strata. Seyogyanya
tiap lapisan umat berendah diri sesuai dengan kedudukan masing masing. Ulama
memiliki cara yang berbeda dengan umara dan lapisan lain dalam berendah diri.
Demikian pula umara dan lapisan lain. Sebab, tiap individu memiliki strata dan
karakteristik yang berbeda.
Berendah diri tidak dilakukan dengan cara menggelar
istighotsah kubro di lapangan, di jalan raya atau di pasar. Cara cara seperti
ini tidak pernah dikenal generas-generasi terdahulu. Bahkan bisa jadi
istighotsah adalah bid’ah yang dianggap sebagian kalangan sebagai kebaikan
agama.
Mari kita lihat dan renungkan firman Allah dalam surat
al-A’raf :
وما أرسلنا في قرية من نبيّ إلا أخذنا أهلها
بالبأساء والضرّاء لعلهم يضرّعون. ثم بدّلنا مكان السيئة الحسنة حتى عفوا وقالوا قد
مسّ آباءنا الضرّاء والسرّاء فأخذناهم بغتة وهم لا يشعرون. ولو أن أهل القرى آمنوا
واتقوا لفتحنا عليهم بركات من السماء والأرض ولكن كذبوا فأخذناهم بما كانوا يكسبون.
أفأمن أهل القرآ أن يأتيهم بأسنا بياتا وهم نائمون. أوأمن أهل القرى أن يأتيهم بأسنا
ضحى وهم يلعبون. أفأمنوا مكر الله فلا يأمن مكر الله إلا القوم الخاسرون
“Tidaklah Kami mengutus seorang nabi pun kepada suatu
negeri, (lalu penduduknya mendustakan itu), melainkan Kami timpakan kepada
mereka kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri.
(al-A’raf:94)
Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga
keturunan dan harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata, “sesungguhnya
nenek moyang kami pun telah merasai penderitaan dan kesenangan”, maka Kami
timpakan siksaan atas mereka dengan sekonyong-konyong, sedang mereka tidak
menyadarinya.”(al-A’raf:95)
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya. (al-A’raf:96)
Maka, apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari
kedatangan siksaan kami kepada mereka dimalam hari di waktu mereka sedang
tidur?. (al-A’raf:97)
Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan
siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka
sedang bermain?. (al-A’raf:98)
Maka, apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak
terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang
merugi. (al-A’raf:99)”
Syaikhuna KH Maimoen Zubair optimis bahwa bencana yang
menimpa negara kita akan berujung pada kebaikan umat. Sebab terjadinya bencana
dibarengi dengan semakin maraknya gerakan kebangkitan Islam yang mendorong
tumbuhnya syiar Agama dan penerapan ajaran Islam, baik secara individual maupun
sosial. Seperti kita lihat, gerakan Islam di negara kita semakin maju dan
berkembang. Banyak sekolah agama dibangun; pelajaran agama menjadi materi wajib
dalam sekolah sekolah pemerintah dan swasta; musholla-musholla dibangun di
lingkungan sekolah, di pemukiman masyarakat, di kantor kantor pemerintah dan
swasta. Jadi pembangunan agama di sini mencakup sisi fisik sekaligus sisi
spiritual. Keberhasilan pembangunan agama yang holistik ini tidak terlapas dari
upaya yang dilakukan kalangan ulama yang merupakan pewaris para nabi.
Jadi, bencana yang menimpa ibarat peringatan dan teguran
dari Allah bahwa meskipun kemajuan gerakan Islam di sebagian wilayah telah
mencapai tingkat perkembangan yang memberikan harapan besar bagi masa depan
Islam yang cerah, namun di sisi lain masih ada kekurangan kekurangan yang patut
diperhatikan berkaitan dengan penggunaan manhaj agama yang benar.
Bencana Sebagai Bukti Risalah
Dari sudut pandang lain Sayikhuna KH Maimoen Zubair melihat
bencana sebagai bukti atas kebenaran kerasulan Nabi Muhammad. Sejak kenabian,
Rasulullah telah menyampaikan seluruh janji dan ancaman yang berkiatan dengan
umatnya, baik yang terjadi pada masa hidup beliau ataupun yang akan terjadi
setelah beliau wafat. Dan berita Rasulullah tentang apa yang akan terjadi
setelah beliau wafat lebih banyak dibanding berita tentang sesuatu yang terjadi
pada masa hidup beliau.
وإن ما نرينّك بعض الذي نعدهم أو نتوفينّك
فإنما عليك البلاغ وعلينا الحساب
“Dan jika Kami perlihatkan kepadamu sebagian (siksa) yang
Kami ancamkan kepada mereka atau Kami wafatkan kamu (hal itu tidak penting
bagimu) karena sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah
yang menghisab amalan mereka.” (QS. 13:40).
Diantara berita itu adalah bencana gempa yang sedang kita
bicarakan. Nabi telah memprediksi kejadian ini, baik disampikan melalui wahyu
al-Quran maupun hadis. Oleh karena itu, terjadinya bencana yang menimpa umat
Nabi Muhammad tidak diragukan lagi adalah azab atau rahmat, atau seleksi dan
ujian, dan bukan sekedar fenomena alam yang tidak berkaitan dengan murka Allah
seperti penafsiran kaum materialis ekstrim. Allah berfirman:
قل هو القادر على أن يبعث عليكم عذابا من
فوقكم أو من تحت أرجلكم أو يلبسكم شيعا ويذيق بعضكم بأس بعض انظر كيف نصرّف الآيات
لعلهم يفقهون
“Katakanlah, Dia-lah yang berkuasa untuk mengirimkan adzab
kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu
dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada
sebagian kamu keganasan sebagian yang lain, perhatikanlah, betapa Kami
mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka
memahami(nya).” (QS. Al-An’am:65).
Empat kalimat yang berhuruf tebal masing masing dijelaskan
dalam tafsir al-Jalalain sebagai berikut:
Azab dari atas kamu maksudnya adalah hujan batu dan
lengkingan memekakkan
Azab dari bawah kakimu artinya adalah terbelahnya bumi yang
menelan seluruh apa yang ada di atasnya.
mencampurkan kamu dalam golongan-golongan maksudnya adalah
perpecahan umat
merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebaian yang lain
maksudnya adalah masing masing kelompok yang berpecah belah saling berperang.
Dan secara global ayat di atas dijelaskan al-Jalalain dengan
sabda Rasulullah ketika ayat ini turun, “Ayat ini adalah peristiwa yang
penjelasan implementatifnya belum terjadi”. (Tirmidzi:2992, Ahmad:1387)
Tafsir ash-Showy menjelaskan hadis ini dengan mengatakan
bahwa empat macam azab di atas adalah peristiwa yang pasti akan terjadi sebelum
kiamat tiba. Hanya saja dua yang terakhir telah terjadi pada masa Sahabat,
sedangkan dua pertama, Allah menundanya hingga mendekati kiamat. Ash-Showy
memberikan catatan bahwa menurut para ulama meskipun dua pertama akan terjadi,
tetapi tidak menimpa umat secara menyeluruh seperti yang terjadi pada umat
terdahulu.
Syaikhuna KH Maimoen Zubair menggaris bawahi dua hal.
Pertama, mengutip Ubay bin Ka’b dua azab terakhir terjadi setelah 25 tahun
meninggalnya Rasulullah. (Ibnu Abi Hatim:7431, Ahmad:20279, Thabari:13380)
Kedua , catatan ash-Showy bahwa dua azab pertama tidak akan
menimpa umat Rasulullah secara menyeluruh didasarkan pada hadis yang
mengisyaratkan bahwa dua azab pertama memang tidak akan pernah terjadi pada
umat Rasulullah. Rasululllah bersabda, “Aku memohon kepada Tuhanku empat hal:
aku memohon kepada Allah agar umatku tidak bersepakat atas kesesatan, lalu Dia
mengabulkannya; aku memohon kepada Allah agar umatku tidak dikuasai musuh dari
luar, lalu Dia mengabulkannya; aku memohon kepada Allah agar umatku tidak
dihancurkan dengan bencana seperti umat umat terdahulu, lalu Dia
mengabulkannya; dan aku memohon kepada Allah agar umatku tidak berpecah belah
dan saling berperang, lalu Dia menolaknya.”(mu’jam kabir Thabrani:2129)
Tetapi di sisi lain ada pula hadis yang mengisyaratkan bakal
terjadinya dua azab pertama pada umat Nabi Muhammad, seperti hadis tersebut di
atas : “Ayat ini adalah peristiwa yang penjelasan implementatifnya belum
terjadi”. (Tirmidzi:2992, Ahmad:1387); dan penafsiran Ubay bin Ka’b terhadap
ayat ini, “(jenis azab) semuanya ada empat dan semuanya pasti terjadi”. (Ibnu
Abi Hatim:7431, Ahmad:20279, Thabari:13380)
Untuk menselaraskan dua kelompok hadis di atas, Syaikhuna KH
Maimoen Zubair menjelaskan bahwa pengertian “terjadi” di dalam hadis tersebut
adalah, dua azab pertama bisa terjadi pada umat Nabi Muhammad, tetapi tidak
sampai memusnahkan seluruh umat Islam. Sedangkan pengertian “tidak terjadi”
adalah, dua azab pertama tidak akan menimpa umat Nabi Muhammad dalam bentuk
yang bisa memusnahkan seluruh umat Islam.
“Tafsir penselarasan” ini tepat seperti apa yang
diriwayatkan Ibnu Jarir dari Hasan al-Bashory bahwa ketika turun ayat ini
Rasulullah berdiri dan berwudlu. Kemudian Rasulullah memohon kepada Allah: agar
tidak dikirimkan kepada umatnya azab dari atas ataupun dari bawah; agar tidak
terjadi perpecahan pada umatnya; dan agar umatnya tidak saling berperang
seperti terjadi pada Bani Israil.
Kemudian Jibril turun kepada Rasulullah dan
berkata, “Wahai Muhammad, engkau telah meminta kepada Tuhanmu empat hal. Dia
mengabulkanmu dalam dua hal dan menolakmu dalam dua hal. Tidak akan datang
kepada umatmu azab dari atas ataupun dari bawah yang dapat memusnahkan mereka.
Sesungguhnya keduanya adalah azab bagi setiap umat yang mendustakan nabinya dan
menolak kitab Tuhannya. Tetapi umatmu akan berpecah belah dan saling
berperang…”.(Thabari:13375)
Banyak hadis yang menunjukkan akan terjadinya kedua azab itu
saat mendekati hari kiamat, hal mana tidak menimbulkan keraguan bahwa azab itu
memang pasti terjadi. Bahkan diantara hadis itu ada yang menjelaskan
kemungkinan terjadinya azab yang lebih dahsyat . Hadis hadis tersbut adalah :
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya di dalam umatku ada
khosfu (azab terbelahnya bumi), maskhu (manusia berubah menjadi hewan) dan
qadzfu (hujan batu)”. Para Sahabat berkata, “ “Wahai utusan Allah, Mereka
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah”. Lalu Rasulullah menjawab, “Benar,
jika telah nampak alat musik, arak dan pemakaian sutra”. (Ibnu Abi Syaibah:91).
Rasulullah bersabada, “ tidak akan datang kiamat sebelum
terjadi banyak gempa”. (Bukhori:978)
Rasulullah bersabda, “Sungguh sebagian umatku akan meminum
arak dan menyebutnya bukan dengan nama arak sambil diperdendangkan alat musik
dan nyayian. Allah akan membelah bumi, lalu bumi itu menelannya, dan Allah akan
menjadikan mereka kera dan babi”. (Ibnu Majah:4010, Ibnu Abi Syaibah:21)
Di akhir tulisannya Syaikhuna mengajak kita semua agar
berhati hati dalam mensikapi peringatan Allah. Bencana yang menimpa kita adalah
peringatan dari Allah agar kita kembali menaati perintah-perintahnya. Salahsatu
perintah itu adalah, agar kita berendah diri di hadapan Allah dengan cara yang
sesuai dengan kapasitas kita masing masing. Jika kita bersedia bersimpuh dan
tunduk pada perintah Allah, maka Syaikhuna KH. Maimoen Zubair yakin seratus
persen bahwa musibah dan bencana yang menimpa kita akan berujung pada kebaikan
dan ketentraman hati. Tetapi jika tidak, maka segala sesuatu adalah milik
Allah. Allah dapat melakukan apa saja yang Ia kehendaki. Allah tidak dimintai
pertangung-jawaban atas apa yang Ia lakukan dan manusialah yang akan dimintai
pertanggung jawaban atas apa yang mereka kerjakan.
0 komentar:
Posting Komentar