الأَعْمالُ صُوَرٌ قَائَمةٌ،
وَأَرْواحُها وُجودُ سِرِّ الإِخْلاصِ فِيها.
Amal itu hanya gambar yang tampil
Sedangkan ruh amal adalah adanya keikhlasan yang ada di dalamnya.
*PEMBAHASAN*
Di ujung Surat Al-Kahfi, tepatnya pada ayat 110, disebutkan:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
…Maka orang yang berharap berjumpa dengan Rabb-nya, maka ia hendaknya melakukan amal saleh sekaligus ia jangan sampai mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (Surat Al-Kahfi: 110)
Pada ayat tersebut sangat jelas bahwa amaliah untuk berjumpa dengan Allah itu tidak cukup dengan amal sholeh, yakni amal yang dapat memberikan kemanfaatan kepada semesta. Tapi dalam amaliah tersebut seorang pejalan yang berharap berjumpa dengan Allah itu harus membersihkan amalnya itu dari syirik. Kenapa pembersihan syirik mesti terus berlangsung? Karena orang yang sudah merasa beriman, merasa muslim, dan kemudian melakukan amalan-amalan, belum tentu dirinya terhindar dari Syirik kepada Allah.
Setelah Syirik dapat dilepaskan dari amal, maka amal menjadi bening dan murni. Kebeningan atau kemurnian inilah dalan bahasa tasawuf disebut sebagai Ikhlas. Karena ikhlas itu bening, maka di dalamnya tidak adan noktah atau titik apapun. Seperti seorang ibu sebelum memasak beras menjadi nasi, sebelumnya napeni beras. Selama napeni sang ibu berusaha sekuat tenaga untuk membuang apapun yang bukan beras. Karena di tengah-tengah beras itu kadang ada batu, kerikil, gabah, karet, dan sebagianya. Meski bisa dimasak, tapi ketika masih ada batu, akan mengganggu ketika dihidangkan.
Kali ini, Syekh Ibnu Athaillah memberikan satu gambaran tentang kedudukan ikhlas dalam amalan kita. Catatan: sebelumnya perlu ditegaskan, bahwa yang disebut amalan adalah seluruh gerak-gerik diri manusia, mulai dari pikiran, perkataan, dan perbuatan, baik kegiatan ini menyangkut peristiwa diri, ritual, sosial, hingga kebudayaan.
Syekh Ibnu Athaillah berkata, "Amal itu hanya tampilan (casing), sedangkan ruhnya amal adalah keikhlasan yang terdapat di dalamnya.”
Amal apapun hanya tampilan. Sebagai tampilan, ia bisa direkayasa begitu rupa sehingga tampak bagus dan indah. Tapi urusan dalam, hanya Allah yang Tahu. Ketika amal hanyalah tampilan, maka amal itu bagaikan tubuh atau raga. Sedangkan ruh dari raga itu adalah ikhlas. Kini dapat kita bayangkan jika ada tubuh tanpa ruh atau jasad tanpa ruh kemudian ia bergerak ke sana ke mari, pastilah orang lain akan lari ketakutan. Hal itu tak beda dengan zombie.
Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.” Rasulullah saw. juga bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”
Memang, tahap keikhlasan seorang hamba itu menurut makomnya sendiri. Seorang *abrar*, tahap keikhlasan itu ketika dirinya dibersihkan dari riya.’ Ini berlaku untuk riya’ yang jelas atau riya' samar. Setiap amalan yang dilakukan itu orientasinya selalu pahala dan pahala yang dijanjikan Allah. Sedangkan keikhlasan hamba-hamba Allah yang telah masuk pada maqam Muqarrabin adalah kesadaran Laa haula wa laa quwwata illa billaahi. Dirinya sadar sepenuhnya bahwa tiada daya dan kekuatan apapun kecuali dari Allah. Sehingga tidak ada daya untuk mengelak atau menampik, sekaligus tidak ada kekuatan untuk berbuat apa pun kecuali hanya mendapat pertolongan Allah. Maka tidak ada kekuatan sendiri tapi semua kekuatan yang ada pada kita hanya dari Allah milik Allah. Kalangan Muqarrabin ini meyakini bahwa semua amal mereka semata-mata hanya anugrah dari Allah. Hanya Allah yang memberi hidayah dan taufiq (pertolongan untuk takwa).
Bagi kalangan abrar, amalnya disebut amal lillahi, yakni beramal karena Allah. Sedangkan bagi kalangan Muqarrabin, amalnya disebut Amal billahi, yakni beramal dengan pertolongan karunia atau anugerah Allah. Jika Amal lillahi menghasilkan kesadaran untuk memerhatikan hukum syariat lahiriah, maka Amal billahi akan menembus di kedalaman syariat bathin bahkan menysup hingga ke rasa qalbu (dzauq).
Seorang arif berkata, _“Perbaikilah amal perbuatan kita dengan keikhlasan, dan perbaikilah keikhlasan kita dengan merasa amal itu tidak berasal dari kekuatan kita sendiri, karena semua itu terjadi semata-mata karena bantuan pertolongan dan rahmat Allah SWT.”_
BIla kita mengutip ungkapan Syaikh Fadhalla Hairi, kita akan memahami, bahwa Amal perbuatan itu sebenarnya perwujudan dari niat dan keinginan kita. Pengalaman-pengalaman lahiriah hakikatnya cermin dari realitas atau kondisi batin kita. Maka ketika usaha yang diniatkan dari hati kita sendiri tapi kemudian menemui kegagalan atau tidak sesuai dengan harapan, kita pun bingung bahkan kecewa. Maka, bagi Syaikh Fadhalla Hairi, Puncak Keikhlasan adalah satu kesadaran bahwa kita ini tidak punya kekuatan dan kehendak-bebas. Semua hal sangat bergantung sepenuhnya hanya kepada Allah.
Orang yang ikhlas adalah orang yang senantiasa bahagia dalam berbuat baik. Karena dirinya sadar bahwa tidak ada alasan untuk melakukan kebaikan dengan terpaksa apalagi bersedih. Allah SWT berfirman:
يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللَّهَ لا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ
“Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman”. (Qs. Ali Imron(3) : 171)
***
Pada pembahasan sebelumnya kita diingatkan bahwa hakikatnya, Allah-lah yang menyediakan ragam amal kebaikan untuk kita, yang direkayasa oleh Allah Melalui ragam keadaan, kemampuan, kondisi, bahkan lingkungan. Maka sejatinya, sejak awal manusia tidak berdaya untuk menciptakan satu amalan apapun. Karena, amalan apapun itu sesungguhnya berangkat dari *minnah* atau anugerah Allah, yang dalam pembahasan lalu disebut *Warid.*
Pembahasan kali ini, Ibnu Athaillah seperti sedang memberikan penegasan. Ketika amal sudah Allah Inspirasikan kepada kita, maka amal itu dapat berguna (bernilai Tauhid), jika dilakukan dengan ikhlas. Ikhlas di sini tentu saja amal-amal itu dilakukan dengan tanpa tujuan apapun, kecuali hanya Allah. Jika amalan itu masih dikotori oleh anasir atau motif-motif lain, maka hakikatnya amal itu sia-sia, tidak berguna (tidak bernilai Tauhid), meskipun secara lahiruah tampaknya baik dan mulia.
Allah berfirman dalam Surat 25 ayat 23, “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan lalu Kami jadikan amal itu (bagai) debu yang berterbangan”
Seorang hamba sedang gelisah karena dihimpit hutang. Ketika sudah jatuh tempo dan sang penagih datang, ia segera berlari menuju masjid untuk mengerjakan sholat Sunnah. Di sana ia melakukan banyak amalan. Mulai dari sholat-sholat Sunnah, membaca al-Quran, hingga wiridan. Secara lahiriah amaliah orang tersebut sangat baik. Tapi jika dikejar hatinya, semua itu dilakukan hanya untuk menghindar dari kejaran si penagih hutang. Tampaknya ia melakukan ibadah, tapi ibadahnya sia-sia tanpa nilai. Sebab tujuannya bukan karena dan bukan untuk Allah.
Seorang karyawan kantor yang mendatangi musholla ketika masuk waktu salat Dzuhur. Di musholla ia wudhu’ sangat lama. Kemudian setelah salat Dzuhur ia berzikir lama sekali. Tujuannya adalah ngaso atau istirahat. Padahal, jam kerja sudah dimulai kembali. Tapi ia terus berdzikir sambil ngadem di musholla yang menggunakan AC. Ibadah tersebut ternyata dilakukan hanya untuk menghindari jam kerja. Bahkan ibadah itu dijadikan alasan agar dirinya tidak dimarahi atasannya.
Sampai di sini, mestinya kita menyadari. Mungkin selama ini ketika kita sudah merasa cukup melakukan banyak amalan. Padahal bisa jadi amalan kita itu sia-sia tak ada guna, karena amal itu belum ada ikhlas di dalamnya. Bayangkan kita sudah menempuh jarak ribuan kilometer, tapi ternyata kita hanya jalan di tempat. Kita memang berkeringat. Kita lelah. Mengeluarkan harta, tenaga dan pikiran. Tapi semua sia-sia lantaran semua amal itu tidak ada ikhlas di dalamnya. Untuk itu, jangan pernah merasa cukup dalam beramal kepada Allah. Selalu sadari dan kritik sendiri tersu menerus, betapa amal kita masih jauh dari hakikat amal yang bernilai tauhid. Dari kritik pada diri secara jujur ini, Insya Allah kita akan insyaf dan memilah, benarkah selama ini kita ikhlas mengabdi kepada Allah? Atau jangan-jangan masih ada kepentingan diri yang menyusup di sela-sela pengabdian kita. Padahal, selama kita masih beramal tanpa ikhlas di dalamnya, *kita bagai membawa kantung atau bungkusan tanpa isi sama sekali. Sia-sia!*
Syekh Akbar Ibn Arabi pernah memberikan pesan:
*“Siapa yang percaya kepada takdir Allah, ia pasti tenang. Siapa yang memperhatikan, pasti ia diperhatikan. Siapa yang tawakal, pasti ia dapatkan keyakinan. Dan siapa yang mengerjakan sesuatu yang tidak bermakna baginya, maka ia pun akan dihilangkan sesuatu yang bermakna baginya."*
***
Wallahua'lam
UmahSuwung
@abdullahwong
0 komentar:
Posting Komentar