Sabtu, 22 September 2018

US.22/9/18

*اللهُم  َّصلِّ  علٰى  سَيِّدنا  مُحَمّدٍ  عبدِكَ  وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ*

                 🅐🅛 🅗🅘🅚🅐🅜

*BENAMKAN DIRIMU*

ادْفِنْ وُجودَكَ في أَرْضِ الخُمولِ، فَما نَبَتَ مِمّا لَمْ يُدْفَنْ لا يَتِمُّ نِتاجُهُ

Benamkan Keberadaanmu di dalam bumi yang Khumul,
Karena segala apapun yang berproses tumbuh tidak dibenamkan,
tidak akan membuahkan hasil yang sempurna.



*PEMBAHASAN*
Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa anugerah Allah terbesar kepada hamba adalah Allah Berkenan Memberikan atau Menempatkan Aku-Nya kepada setiap manusia. Aku-Nya Allah ini merupakan Khazanah-Nya yang sejak semula dipersiapkan bagi manusia dalam rangka mengelola bumi (khalifah fil-ardh). Karena satu hal yang mustahil, jika manusia yang sejatinya hanya makhluk, lalu diminta mengelola bumi dan segala makhluk lain tanpa diberikan Potensi Rububiyah (pendidikan), Mulkiyah (kekuasaan), hingga Ilahiyah (spiritualitas). Melalui Anugerah Potensi itu, manusia kemudian menjadi representasi (tajalliyah) dari Otoritas Allah. Dengan demikian, proses pengaturan bumi hanya terselenggara sempurna jika seorang manusia menyadari dirinya sebagai hamba (ma'rifatul'abdi) yang bersedia menerima-Nya, untuk kemudian ditenggelamkan Allah dalam menyadari dan memahami Otoritas Allah (Ma'rifatu robbi).

Dalam bahasa sederhana, Representasi Allah di dalam manusia itu adalah Aku. Itulah mengapa Dia begitu dekat melampaui urat leher kita. Perlu ditegaskan di sini, Kehadiran Allah tentu saja bukan secara fisik sebagaimana keberadaan darah atau bahkan DNA. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa setiap diri kita pasti ada Aku-Nya. Sebagaimana energy, Aku-Nya ini tidak dapat diciptakan sekaligus dihancurkan. Si Aku kita ini langgeng karena berasal dari Yang Maha Langgeng.

Persoalan ketauhidan terjadi ketika Aku-Nya Allah kemudian diakui bahkan diyakini sebagai aku kita sendiri. Karena sejatinya aku kita semua tidak ada. Yang ada hanya Allah. Sementara kita tahu, mengada-adakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada, namanya bid'ah. Maka ketika kita merasa punya aku, merasa memiliki aku, mengada-adakan aku, sesungguhnya perilaku bid'ah yang sebenarnya. Inilah Bid'ah primordial. Untuk itu, bagi setiap pejalan ruhani, laku tiada henti yang mesti berlangsung secara istiqomah adalah mengembalikan Aku hanya kepada-Nya. Menempatkan aku sebagaimana tempatnya ini disebut 'Adil, sedangkan tidak menempatkan aku bukan pada Kedudukannya bernama dzolim. Inilah perang abadi bagi setiap hamba. Sikap bersedia untuk menyerahkan kembali Aku Allah. Bukan malah diakui diri apalagi dijadikan alasan untuk mengumbar kemauan diri. Tapi, bagi hamba yang aku titipan-Nya itu disesuaikan dengan mau Allah, maka si hamba ini tengah mendapatkan taufik. Karena kehendak dirinya itu sesuai (muwafiq) dengan Kehendak Allah.

Ungkapan secuil di atas diharapkan dapat menghantarkan kita dalam menyelami pesan Hikmah Syekh Ibnu Athaillah pada bab kali ini. Yakni, _“Tanamlah wujudmu dalam bumi yang tersembunyi, karena yang tumbuh dari sesuatu yang tidak ditanam itu tidak ada hasilnya.”_

*Makna Pertama*
Dalam Kalam hikmah di atas, Syekh Atho menyebut diksi *fii Ardhil-Khumuli* yang artinya “bumi yang tersembunyi.” Apa maksudnya? Syekh Ajibah dalam Syarah Hikam yang berjudul Iqodul HImam menjelaskan makna “tersembunyi” adalah menjauhkan diri dari segala sikap untuk memublikasikan diri di hadapan publik berupa ketenaran dan popularitas. Artinya, sebelum kita melangkah dalam meniti titian Ilahi, tanamkan dulu niat hati kita jangan sampai punya tujuan untuk dikenal, diakui, dihargai atau dipuja-puja. Sehingga, menata dan membersihkan hati dari semua bentuk niat untuk "terlihat oleh orang lain" adalah keniscayaan yang tidak boleh ditinggalkan.

Memang kenapa kita mesti menanggalkan popularitas? Karena popularitas begitu mudah untuk mengalihkan niat tulus yang sudah tertanam kuat dalam hati. Keikhlasan seseorang dalam beramal sangat diuji ketika sudah berhubungan dengan publik luas. Sebagaimana penjelasan Syekh Athoillah dalam kalam sebelumnya bahwa, *Amal hanyalah tampilan atau casing, sementara ruh dari amal adalah ikhlas.* Nah keikhlasan amal ini mustahil didapat jika kita masih suka dan berharap kepada pujian, ketenaran atau popularitas.

Di kalam Hikmah kali ini, Syekh Atho menyertakan satu perumpamaan tentang tumbuhan. Syekh Atho bertamsil bahwa benih atau tunas suatu tumbuhan akan tumbuh dan berbuah bila dibenam ke dalam tanah. Sementara benih yang dibiarkan tampil di permukaan tanah pasti akan terkena sengatan matahari, diterpa angin, lalu terombang-ambing entah kemana sehingga tidak dapat tumbuh sebagai tanaman. Begitu juga seorang hamba. Jika sejak awal dirinya beramal dalam rangka ingin terkenal atau dikenal manusia lain, maka buah amalan yang dilakukan susah payah itu hanya akan sia-sia. Ini karena si hamba tak bersedia tenggelam di dalam tanah kehinaan.

Bicara mengenai tanaman, ia punya dua proses pertumbuhan. *Pertama*, proses penguatan akar atau pondasi. *Kedua*, proses pengembangan tanpa merusak pondasi. Proses pertama diperoleh melalui jalan menanam benih kuat-kuat di dalam bumi, seraya menanti ia tumbuh dengan sendirinya. Biarkan tanah yang yang bekerja di sana untuk menguatkan akar. Sementara dalam proses kedua, setelah benih mulai berakar kuat, bertunas hingga berkembang menjadi tanaman, sang akar yang telah kokoh tadi akan menopang tanaman dalam menghasilkan buah.

Begitu juga dengan amal atau karya kata. Proses pertama adalah istiqomah untuk terus dan terus melakukan kebaktikan kepada Allah. Hal ini merupakan penanaman pondasi di bawah tanah yang tersembunyi, sehingga dirinya tidak akan pamer apalagi ingin sekali diketahui orang lain amalan-amalan dirinya. Kedua, apabila niat ini sudah kokoh dan kuat, si hamba dapat melanjutkan melangkah agar amalannya itu dapat bermanfaat dan dinikmati oleh semua orang. Maka waspadalah. Begitu banyak amal ibadah kita sudah sia-sia sejak awal, karena sejak kita hendak beramal, belum apa-apa, niat kita adalah ingin dikenal, diketahui, lewat riya, sum'ah dan ujub.

*Makna Kedua*
Makna kedua dari ungkapan Syekh Atho adalah tentang kediriaan atau keakuan kita. Tentang kondisi ini, kita dapat merujuk kepada sirrah atau perjalanan Rasulullah. Sebelum Rasul berdakwah terang-terangan kepada Kaum Kafir, Sang Nabi diperintah Allah untuk uzlah atau berdiam diri di Goa Hiro. Di goa Hiro ini, selain Sang Muhammad merenungkan kondiri kaum Kafir Makkah ketika itu, ia juga sedang menjalani laku pembersihan dari segala niat yang subyektif. Seorang Nabi Muhammad saja, bersedia menjalani tempaan tazkiyah melalui takholli – tahalli – tajalli di di Goa Hira, apalagi kita? Masa iya, kita belum apa-apa dalam kesadaran dan pengetahuan lalu berani-beraninya tampil untuk coba mengubah masyarakat?

Menarik untuk disimak adalah penjelasan Syekh Al-Buthi yang juga memberikan Syarah kepada Kitab Hikam. Ia menyebut tiga hal yang dibutuhkan sebelum kita menjalani laku ruhaniah, yaitu:
1. *Ilmu;* Kita tidak diperbolehkan menyampaikan ajaran agama pada masyrakat tanpa didasari ilmu dan pengetahuan.
2. *Membersihkan hati;* Di sini kita bersedia belajar untuk ditempa dalam kepatuhan dan ketulusan.
3. *Menyucikan hati;* Membersihkan hati saja tak cukup. Hati mesti disucikan dari segala macam anasir selain Allah, seperti kecendrungan hati yang senang pada gemerlap dunia, kenikmatan, hingga puja-puji.

Tiga hal di atas tak ubahnya seperti kurikulum yang diselenggarakan di Gua Hiro manapun. Karena Gua Hiro itu tak selalu dalam pengertia sebuah tempat yang jauh di dalam hutan atau di puncak gunung. Gua Hiro itu sesungguhnya ada di setiap sudut hati kita. Masukilah Goa itu. Benamkan diri kita di sana, lalu jalani tiga kurikulum di atas sebagaimana yang disebutkan Syekh Al-Buthi.

Apa jadinya jika seorang belum menjalani kawah candradimuka di Goa Hiro lalu tampil di publik? Tentu sangat banyak madhorotnya. Bayangkan jika seorang yang mengaku ulama, sementara dirinya belum cukup dan cakap dalam pengetahuan agama, kemandirian, dan ketulusan, dirinya akan mudah dibeli oleh publik. Seorang santri yang baru saja mengaji di Goa Hiro bernama pesantren, sementara ia sama sekali belum menguasai dasar-dasar hukum, maqoshid ayat-ayat Al-Quran, kaidah dan prinsip-prinsip dalam tafsir, kompleksitas hadits, hingga kepekaan menyelami alam ruhaniah, tapi dirinya berani tampil untuk berdakwah dan menyampaikan prinsip-prinsip ilahiyah, tentu yang terjadi bukan memberikan manfaat tapi tak jarang malah menyesatkan. Tak heran jika muncul tokoh "yang merasa" Ulama, tapi dirinya masih harap-harap cemas kepada amplop, silau kepada pujian, masih punya kepentingan diri, bahkan baper terhadap kritikan. Tentu tokoh yang demikian tidak dapat memberikan uswah sama sekali.

Syekh Ibrahim bin Adham ra pernah berkata, "Tidak sungguh-sungguh menuju Allah bagi siapa pun yang beramal demi kemashuran dirinya.” Sementara seorang Mursyid bekata, "Tiada sesuatu yang lebih berbahaya bagi seseorang yang sedang beramal, daripada menginginkan kedudukan dan kemashuran di tengah-tengah masyarakat. Hal ini termasuk dari tipu daya hawa nafsu." Kemudian Syekh Ayyub As-Sakhtiyani ra juga pernah menyinggung, "Demi Allah, tiada seorang hamba yang bersungguh-sungguh ikhlas pada Allah, melainkan ia begitu senang jika tidak diketahui kedudukannya.”

Bahkan Sang Nabi saw bersabda, "Siapa yang rendah hati maka Allah Memuliakannya; tapi siapa pun yang sombong, Allah akan menghinakannya.” Sementara dalam sebuah riwayat dari Muadz bin Jabal ra, Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya riya’ meski sedikit termasuk syirik. Siapa yang memusuhi seorang waliyullah, berarti telah berperang terhadap Allah. Dan Allah menyayangi hamba-Nya yang bertakwa namun tidak terkenal, yang bila tidak ada tidak dicari, bila ada tidak dipanggil serta tidak dikenal. Hati mereka laksana pelita hidayah(petunjuk), mereka terhindar dari segala kegelapan kesukaran."

Kemudian Abu Hurairah ra pernah berkata, ketika kami di majelis Rasulullah saw tiba-tiba beliau saw bersabda, “Besok pagi akan ada seorang ahli surga yang ikut shalat bersama kalian. Abu Hurairah berkata, aku harap semoga akulah orang yang ditunjuk oleh Rasulullah itu. Maka pagi-pagi aku shalat di belakang Rasulullah saw dan tetap tinggal di majelis setelah orang-orang pulang. Tiba-tiba ada seorang hamba hitam berkain compang-camping datang dan berjabat tangan pada Rasulullah saw sambil berkata: "Ya Nabiyallah, doakan semoga aku mati syahid." Maka Rasulullah saw berdoa, sementara kami mencium wangi kesturi dari tubuhnya. Kemudian (setelah orang itu pergi) aku (Abu Hurairah ra) bertanya: "Apakah orang itu Ya Rasulullah?" Nabi menjawab, "Ya benar. Ia seorang hamba dari bani fulan." Abu Hurairah bertanya lagi, "Mengapa tidak engkau beli lalu engkau merdekakan ia, ya Nabiyallah?" Lalu nabi menjawab, "Bagaimana aku akan dapat berbuat demikian, bila Allah hendak menjadikan dia seorang raja di surga? Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya di surga itu ada raja dan orang-orang terkemuka. Dan hamba sahaya ini adalah salah seorang raja dan terkemuka. Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya Allah mengasihi kepada makhluk-Nya yang suci hati, yang menyembunyikan diri dari masyarakatnya, yang bersih, yang rambutnya terurai (tidak tersisir rapi), yang perutnya kempis kecuali dari hasil yang halal, yang bila akan masuk istana raja niscaya tidak diperkenankan gara-gara penampilannya lahiriahnya, bila meminang wanita bangsawan tidak akan diterima, bila tidak ada tidak dicari, bila hadir ia diabaikan, bila sakit tidak dijenguk, bahkan bila meninggal jenazahnya tidak dihadiri.”

Ketika sahabat bertanya:  Tunjukkan kepada kami seorang dari mereka ya Nabiyallah. Nabi menjawab: “Uwais Al-Qarny ra, seorang berkulit coklat, lebar kedua bahunya, sedang tingginya, selalu menundukkan kepalanya sambil membaca al-Quran, di bumi ia tidak dikenal, tapi di langit ia sangat terkenal. Andaikan dia bersungguh-sungguh minta sesuatu kepada Allah, pasti langsung dikabulkan. Di bahu kirinya ada bekas belang sedikit. Wahai Umar dan Ali, jika kamu kelak bertemu dengannya, mintalah dia membacakan istighfar untuk kalian.”

Sedangkan Syarah Syeikh Fadhlala Haeri menyebutkan, "Andai saja perbuatan-perbuatan kita tidak didasarkan pada pengabdian yang rendah hati (tawadhu’) kepada Allah, maka semua perbuatan itu tidak akan menghasilkan apapun dan tidak terbebas dari kepalsuan juga kemusyrikan yang begitu lembut.

Akhirnya, bila siapa pun menghendaki pujian, reputasi atau penghargaan, maka dampak dari perbuatan kita yang demikian itu hanyalah kebusukan. Ini lantaran sifat dunia yang selalu berubah dan mudah membusuk. Sementara, para pejalan Ruhaniah yang istiqomah, tentu tidak akan peduli pada apa yang muncul sebagai hasil akhir perbuatan. Karena dirinya merasakan Rahmat-Nya sejak awal. Sejak si pejalan diberi kesempatan untuk menyerah kepada Allah, itulah kenikmatan tiada tara. Setelah itu, si pejalan selama melakukan perjalanan, hanya memandang, menyaksikan, dan merasakan Allah, bukan demi yang lain, bukan demi apa dan siapa pun.

***

Wallahua'lam

UmahSuwung
@abdullahwong

=============

*Tambahan*
Tanpa diduga, Kajian Hikam yang mestinya disampaikan Jumat lalu ternyata berbarengan dengan Pergelaran Teater *Kasidah Sawah* yang digelar di Komplek Sawah Candi Blandongan, Batu Jaya, Karawang. Di pentas tersebut para pemain menyampaikan dengan tubuhnya tentang hakikat menanam atau nandur. Tandhur sebagai sebuah kata, sebenarnya punya maka yang tidak sederhana. Dalam bahasa Jawa kata tandur bermakna menanam.
“Opo sing ditandur yo iku bakale sing diunduh” (Apa yang ditanam, itulah yang akan dipanen). Kedua, dalam bahasa Arab “tandhur” diistilahkan: “zara`”.  Karenanya, ada pribahasa, “man zara`a hashada” (Siapa yang menanam, pasti mengetam). Kedua pribahasa ini –baik dari Jawa maupun Arab- menggambarkan bahwa “tandhur” adalah hakikat hidup manusia.
Dalam proses tandhur tentu ada sikap serius, mulai dari pemilihan bibit, pengetahuan mendalam tentang tanah, penguasaan musim, kekuatan petani, penguasaan air, pemahaman pupuk alam, dan seterusnya. Karena untuk memahami ‘tandhur’ tak mudah, maka seorang petani akan dianugerahi karakter kesabaran, keuletan, ketelatenan, kecepatan, kepekaan dan sifat-sifat lainnya.

Tandhur juga sering dimaknai "nata mundur", yakni sikap melakukan penataan sambil melangkah ke belakang. Makna mundur di sini bukan mundur dari persoalan. Tapi hakikatnya kembali mundur kepada Allah, bukan malah maju pergi meninggalkan Allah.

Dalam bahasa jawa ada juga hewan yang bernama undhur-undhur. Hewan ini berjalan sangat pelan ke belakang. Kalau dikaitkan dengan kata tandhur dalam bahasa Arab, relevansinya adalah memandang sesuatu yang diiringi pemikiran dan renungan yang mendalam, pelan-pelan, waspada, penuh kehati-hatian.

Uniknya, dalam al-Qur`an kata keberuntungan diistilahkan dengan kata: “al-falāh”. Kata ini pada asalnya bermakna,  “Membelah”, yang merupakan salah satu proses penting yang dilakukan petani dalam mengolah tanah. Itu kenapa  bahasa Arabnya ‘petani’ ialah ‘Fallāhun’ (dengan tasydid pada lam). Seakan bahasa al-Qur`an ini hendak menegaskan bahwa sosok yang beruntung itu adalah sosok sebagaimana petani.

Bahkan Al-Quran lagi-lagi menggunakan idiom benih dalam dunia pertanian, sebagaimana dalam ayat berikut:

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنۢبُلَةٖ مِّاْئَةُ حَبَّةٖۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ ٢٦١

Perumpamaan seorang yang menyerahkan hartanya di jalan Allah itu laksana sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir dimana pada tiap bulir terdapat seratus benih. Allah melipat gandakan apresiasi bagi siapa yang Dia Kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui(Qs. Al-Baqarah: 261).

Maka jika kita belajar kepada laku lampah kepada wong tani atau wong kang tandhur atau orang yang mau membenamkan dirinya,  kita dapat menemukan kenapa Syekh Ibnu Athaillah bicara tentang menanam keakuan kita. Karena keakuan kita adalah benih atau bibit Unggul dari Allah. Jangan sia-siakan!

0 komentar:

Posting Komentar

BERSYUKURLAH KEPADA SUAMI karena ALLOH,,,,,,,,,,,,,,,,

 o0o_بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــم_ oOo BAHAGIA itu,,, sangat SEDERHANA (31) oOo السلام عليكم ورحمة الله وبركاته oO...