US.25/8/18
*اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ*
🅐🅛 🅗🅘🅚🅐🅜
*MERAGUKAN JANJI*
لاَ يـُشَـكِّكَــنَّكَ فيِ الْـوَعْدِ عَدَمُ وُقُــوْعِ الْـمَـوْعُـوْدِ ،
وَ إِنْ تَـعَـيَّنِ زَمَنُهُ ؛ لِئَـلاَّ يـَكُوْنَ ذَ لِكَ قَدْحًـا فيِ بَـصِيْرَ تِـكَ ،
وَ إِخْمَـادً ا لِـنُورِ سَرِ يـْرَ تِـكَ
"Janganlah kamu meragukan Janji yang belum ada pemenuhan dalam perjanjian tersebut,
meskipun telah jatuh waktunya. Sampai-sampai membuat kamu ragu terhadap janji-Nya;
agar yang demikian itu tidak menyebabkan bashirah-mu buram dan cahaya sirr-mu padam!"
***
Pembahasan
Dalam kehidupan sehari-hari, kita terikat dengan berbagai macam jenis ikatan dan perjanjian. Bahkan biasanya, perjanjian itu terikat atas nama hukum dan aturan tertentu. Janji tertentu kemudian disapakati karena di antara kita meyakini adanya keuntungan yang bakal kita peroleh. Dengan kata lain, perjanjian itu semacam ikatan yang disepakati untuk dapat diperoleh kemanfaatan atau keuntungannya.
Pada dasarnya, tidak ada janji sepihak. Karena janji itu mestinya dilakukan oleh dua belah pihak. Misalnya, seorang calon anggota dewan ketika kampanye dirinya berjanji akan melakukan sejumlah program tertentu. Karena calon anggota dewan itu berjanji, maka kita mungkin tergiur dan berharap kiranya janji-janji itu dapat diwujudkan. Apa konsekuensinya? Tentu saja kita harus memilih calon dewan yang kita harapkan dapat memenuhi janjinya itu. Ketika kita menyoblos salah satu anggota dewan itu, sebenarnya kita baru saja menyepakati perjanjian.
Perjanjian lain juga dapat muncul dalam sejumlah transaksi tertentu. Seseorang atau masyarakat akan bersikap melakukan atau tidak melakukan hal tertentu, dengan harapan tetap menjaga isi perjanjian yang disepakati. Dalam konteks sosial, tak semua perjanjian telah mengalami proses kesepakatan bersama dengan kita. Tapi akhirnya kita patuh, karena kita sendiri tahu kemanfaatan dari perjanjian atau undang-undang tersebut. Misalnya, larangan membuang sampah sembarangan. Kita tanpa perlu membuat kesepakatan dengan pembuat aturan tersebut. Dan kita mengamini aturan itu ketika kita sendiri benar-benar mematuhinya.
*Bagaimana dengan perjanjian Tuhan?*
Sebenarnya, perjanjian dari Tuhan untuk hamba itu diumumkan untuk hamba-hamba yang masih doyan iming-iming. Bagi hamba yang total mengabdi kepada Allah, tentu tak akan mempertanyakan apa saja janji-janji yang telah disampaikan Allah melalui ayatayat Al-Quran.
*Kenapa Allah harus menjanjikan sesuatu?*
Karena dalam janji mengandaikan adanya harapan. Sementara manusia itu akan terus bertahan hidup selama dirinya masih ada harapan. Tapi masalahnya, bagi pejalan ruhani, prinsip tentang harapan ini akan mendapat pertanyaan besar. Ketika seorang hamba yang bermental pedagang ditanya, "Kenapa kamu ibadah?" Tentu jawabnya, "Karena aku berharap surga Allah, sekaligus aku tidak berharap neraka Allah."
Jawaban demikian tidak lah keliru. Karena Allah sendiri memang menjanjikan. Dan janji yang menggiurka itu pun menjadikan adanya harapan bagi si hamba. Sehingga, si hamba kiranya akan lebih semangat dalam menyelenggaraka pengabdian kepada Allah. Tanpa sadar, sikap berharap surga dalam menyembah kepada Allah ini membuahkan sikap transaksional dalam keseharian. Bahwa kehidupan manusia itu hamper-hampir selalu berlangsung secara transaksional. Semua berpikir untung rugi, lebih dan kurang, enak dan tidak enak, begitu seterusnya. Maka tak heran, Allah sering menyebut kehidupan ini dalam kesempatan tertentu sebagai ladang untuk beramal, pada kesempatan lain menyebut kehidupan ini bagaikan sebuah perniagaan. Dan dalam kesempatan lain lagi, Allah menyebut kehidupan ini sebagai panggung sandiwara.
Kita kembali kepada persoalan janji Allah.
*Bagaimana kita mengamati janji Allah?*
Ada banyak contoh yang dapat kita amati sebagai janji Allah. Misalnya, ada ayat yang menyebutkan, "Ketahuilah, bahwa berzikir itu menentramkan hati." Isi ayat tersebut berupa informasi tapi mengandung makna perjanjian. Karena ada kausalitas di sana, yakni siapa saja yang bersedia berzikir maka dirinya akan mendapatkan ketentraman hati. Ada juga tentang siapa yang sabar, maka akan diluaskan hatinya. Atau siapa yang menyambung silaturrahmi akan diberikan kesehatan. Dan masih banyak yang lain.
Misalkan kita lakukan informasi itu. Kita bersedia melakukan serangkaian zikir tertentu dengan harapan hati kita menjadi tenang dan tentram. Setelah sekian waktu kita lakukan sejumlah zikiran, ternyata kita masih juga belum menemukan ketentraman. Bahkan yang ada kehidupan di sekitar kita makin kacau. Misalnya, keluarga kita malah kacau. Usaha-usaha kita bangkrut membuat kita bingung dan tidak tenang. Bahkan saudara dan sahabat mulai menjauhi kita, sehingga menambah rasa tidak tentram dalam hati. Lalu kita pun protes, "Ya Tuhan. Bukankah Engkau Berkata kalau zikir itu menentramkan hati? Tapi kenapa setelah sekian lama aku zikir untukmu, aku malah merasakan kehidupan yang sangat tidak tenteram seperti ini?"
Oleh Syekh Ibnu Athaillah, protes kita kepadanya atas ketiadaan isi perjanjian, dapat merusak hati seorang pejalan. Bahkan Syekh Atho tidak tanggung-tanggung menyebut orang yang bersikap demikian itu telah padam mata batinnya.
لاَ يـُشَـكِّكَــنَّكَ فيِ الْـوَعْدِ عَدَمُ وُقُــوْعِ الْـمَـوْعُـوْدِ ،
وَ إِنْ تَـعَـيَّنِ زَمَنُهُ ؛ لِئَـلاَّ يـَكُوْنَ ذَ لِكَ قَدْحًـا فيِ بَـصِيْرَ تِـكَ ،
وَ إِخْمَـادً ا لِـنُورِ سَرِ يـْرَ تِـكَ
"Jangan coba-coba kamu meragukan Janji Allah lantaran belum muncul isi perjanjian tersebut, meskipun ukuran pemenuhan janji sudah tiba waktunya. Janganlah berlaku demikian, ini supaya tidak menyebabkan bashirah-mu buram dan cahaya sirr-mu padam!"
Dalam Al-Quran, Nabi Ibrahim senantiasa berdoa agar dikaruniai keturunan, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an Surah Ash-Shaaffaat ayat 100: *“Rabbii hablii minash-shaalihiin.”* Tatkala datang dua malaikat yang memberi kabar gembira akan lahirnya Ishaq a.s., Siti Sarah digambarkan “tersenyum keheranan” (Huud: 72-73 ), atau “memekik” (Adz Dzaariyaat: 29).
Kemudian dalam Surat Huud: 72-73 dikisahkan:
قَالَتْ يَا وَيْلَتَىٰ أَأَلِدُ وَأَنَا عَجُوزٌ وَهَـٰذَا بَعْلِي شَيْخًا ۖ إِنَّ هَـٰذَا لَشَيْءٌ عَجِيبٌ
قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللَّـهِ ۖ رَحْمَتُ اللَّـهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ ۚ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ
Istri Ibrhamim berkata: "Sungguh sangat mengherankan. Apakah aku akan melahirkan anak padahal aku ini seorang perempuan tua, dan suamiku juga dalam keadaan sudah tua? Sungguh ini benar-benar sesuatu yang sangat aneh." Para malaikat lalu berkata: "Apakah kamu merasa heran terhadap Ketetapan Allah? Rahmat Allah dan Keberkatan-Nya, dicurahkan untukmu, wahai hai ahlul-bait. Sungguhnya Dia itu Maha Terpuji lagi Maha Pemurah." – (Surat Huud: 72-73)
Demikian halnya Ibrahim a.s. berkata:
قَالَ أَبَشَّرْتُمُونِي عَلَىٰ أَن مَّسَّنِيَ الْكِبَرُ فَبِمَ تُبَشِّرُونَ
قَالُوا بَشَّرْنَاكَ بِالْحَقِّ فَلَا تَكُن مِّنَ الْقَانِطِينَ
Berkata Ibrahim:
"Apakah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, maka dengan cara bagaimana berita gembira yang kamu kabarkan ini dapat terwujud?"
Para Malikat menjawab:
"Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan benar. Maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa."
Ibrahim berkata:
"Tidak ada orang yang berputus-asa dari rahmat-Nya, kecuali orang-orang yang sesat." –
(Al-Hijr: 54-55)
Dalam ayat di atas, Nabi Ibrahim hanya kaget. Ia sadar diri bahwa dirinya telah renta. Tapi karena yang memberikan kabar atau janji itu adalah Tuhannya, maka Nabi Ibrahim tak ragu sedikitpun.
Karena, keraguan kita terhadap janji Allah itu sesungguhnya tanda dari kelemahan tauhid. Kelemahan tauhid itu tentu saja ditandai dengan bashirah (mata batin) menjadi buram dan adanya ragam cahaya rahasia menjadi padam. Keraguan merupakan sikap yang sangat berbahaya bagi setiap pejalan.
Tentang bashirah, kita telah membahas pada pasal sebelumnya, bahwa bashiroah itu laksana cahaya untuk melihat Al-Haqq di segenap ufuk alam semesta. Adapun cahaya sirr merupakan cahaya yang akan menampakan jati diri setiap insan. Rahasia tentang hakikat diri kita, qadha dan qadar, misi hidup, dan seterusanya, hanya bisa ditampakkan dengan cahaya sirr Allah.
Manusia sebagai hamba tidak mengetahui kapankah Allah akan menurunkan karunia dan rahmat-Nya, sehingga manusia jika melihat tanda-tanda ia menduga, mungkin telah tiba saatnya, padahal bagi Allah belum memenuhi semua syarat yang dikehendaki-Nya, maka bila tidak terjadi apa yang telah diduganya, hendaknya tidak ada keraguan terhadap kebenaran janji Alloh subhanahu wata'ala.
***
Sebelumnya pernah dibahas bahwa istiqomah untuk menjalankan perintah Allah adalah anugerah. Bahwa kesediaan untuk senantiasa menghamba kepada Allah adalah nikmat tiada tara. Sehingga, orang yang istiqomah berzikir, sesungguhnya merupakan satu kenikmatan tersendiri. Itulah anugerah luar biasa. Anehnya, ketika dirinya jelas-jelas mendapat anugerah untuk istiqomah itu, dirinya lupa bahwa itu adalah anugerah, dan dirinya pun menuntut agar Allah memenuhi janji-janji-Nya. Misalnya, janji amalan tertentu akan mendatangkan ketenangan, memberikan limpahan rizki yang tak terkira, membuat dirinya sehat, dihormati, disegani, dan semua jenis harapan lain yang dapat kita sebutkan. Ketika semua harapan itu masih belum terwujud, kita pun baper! Kita mulai ragu-ragu. Sebenarnya istiqomah ini ada hasilnya tidak sih?! Sebenarnya apa yang saya kerjakan ada dampaknya tidak sih? Ketika kita sampai ragu dalam melakoni perintah Allah, maka seketika itu pula mata hati kita padam. Dan cahaya rahasia dalam diri kita lenyap begitu saja.
*Muncul pertanyaan; apakah para awlia, tidak berdoa?*
Tentu saja berdoa. Tapi apa doanya, itu yang beda. Kalau orang model saya, masih berdoa ingin diberikan kekayaan, diberikan kekuatan, dan sebagainya. Tapi bagi para wali, doanya adalah kiranya Allah memberikan musibah demi musibah kepada dirinya? Kenapa para Wali meminta musibah? Karena para wali menyadari, dengan banyaknya musibah, maka dia akan diberikan anugerah kewaspadaan dari Allah. Sementara doa mohon ini itu yang kaitannya dengan kepentingan diri, biasanya malah akan menjadi fitnah bahkan jebakan yang menenggelamkan.
Lalu, dari apa yang disampaikan Syekh tentang keraguan atas janji itu apa solusinya?
Selama kita berharap sesuatu selain Allah, maka dipastikan kita akan berurusan dengan keraguan, rasa was-was, khawatir, bahkan ketakutan. Tapi jika yang diharapkan hanya Allah, maka Hasbunallah,, cukup Allah saja yang Mencukupi segalanya.
"Kapankah datang pertolongan Alloh? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Alloh itu dekat." [al-Baqoroh 214].
*
Wallahua'lam
UmahSuwung
@abdullahwong
0 komentar:
Posting Komentar