1
. 1. Pengertian Ibadah
Ibadah secara
etimologis berasal dari bahasa arab yaitu عبد-
يعبد -عبادة yang
artinya melayani patuh, tunduk. Sedangkan menurut terminologis ialah
sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai allah azza
wa jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang
bathin[1]. Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua
jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya[2];
2A. Ibadah Mahdoh
adalah
ibadah yang dari segi perkataan, perbuatan telah didesign oleh Alloh SWT
kemudian diperintahkan kepada Rasulullah untuk mengerjakannya. Seperti sholat
fardu 5 kali, ibadah puasa ramadhan dan haji. Semuanya adalah bentuk paket dari
Allah turun kepada Rasulullah kemudian wajib ditirukan oleh umatnya tanpa
boleh menambah atau memperbaharui sedikitpun.
Ibadah
mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah ditetpkan
Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah
yang termasuk mahdhah, adalah :
Wudhu, Tayammum, Mandi hadats, Shalat,
Shiyam ( Puasa ),
Haji, Umrah,
Apa
pernah yang berani menambah atau memperbaharui ibadah semacam itu? Jawabannya
ada, yaitu Muawiyah. Dalam Sunah Rasulullah ibadah jum’at didahului dengan 2
khotbah, sedangkan sholat 2 Id didahului sholat baru kemudian khutbah. Ibadah
cara ini kemudian oleh Muawiyah diubah yaitu tatakala sholat Id, dia melangkah
ke mimbar dan memberi khotbah baru kemudian sholat. Oleh para ulama’ pada masa
itu telah diingatkan,
“Hai
Muawiyah, sungguh engkau melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh
Rasulullah” Kemudian Muawiyah menjawab,
“Kalau
aku khutbah setelah usai sholat maka tidak ada manusia yang akan mendengarkan
khutbahku” sambil berlalu menuju ke mimbar dan ia sungguh telah berkotbah
sebelum sholat Id didirikan. Inilah bid’ah yang sesat itu.
Sholat
dengan bahasa Indonesia, seperti yang terjadi di Jawa Timur, itu juga bid’ah
dholalah (sesat) karena sholat masuk ke dalam ranah ibadah mahdoh sehingga
mengubah dan menambahi aturan di dalamnya termasuk kategori sesat. Bukankah
Rasulullah sduah menggariskan “Sholluu kamaa roaitumuuni usholli –sholatlah
kalian sebagaimana kalian lihat aku sholat”. Ibadah bentuk ini memiliki 4
prinsip, yaitu:
a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan
otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
Haram kita melakukan ibadah ini selama tidak ada perintah.
b. Tatacaranya harus
berpola kepada contoh Rasul saw. Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah
adalah untuk memberi contoh:
وماارسلنا من رسول الا ليطاع باذن
الله … النسآء
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati
dengan izin Allah…(QS. 64)
وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه
فانتهوا…
Dan apa saja yang dibawakan Rasul
kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah…( QS. 59: 7).
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena
bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami
rahasia di baliknya yang disebuthikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul
Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti
atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau
tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d. Azasnya “taat”, yang
dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau
ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya,
semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan
salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi.
3B. Ibadah
Ghairu Mahdah
Ibadah ghoiru mahdoh : adalah seluruh
perilaku seorang hamba yang diorientasikan untuk meraih ridho Allah (ibadah). Dalam hal ini tidak ada aturan
baku dari Rasulullah. (edisi I tentang bidah, sudah penulis singgung--
Dalam hadis Jarir ibn `Abdullah disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من
غير أن ينقص من أجورهم شيء
ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من
بعده من غير أن ينقص
من أوزارهم شيء
“Barangsiapa
merintis jalan yang baik dalam Islam (man sanna fîl Islâm sunnatan hasanah),
maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya
sesudahnya, tanpa berkurang sedikit pun pahala mereka; dan barangsiapa merintis
jalan yang buruk dalam Islam (man sanna fîl Islâm sunnatan sayyi-ah), maka dia
menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa
berkurang sedikit pun dosa mereka.” (Lihat antara lain: Shahih Muslim, II: 705,
Hadis senada diriwayatkan oleh 5 imam antara lain, Nasa’i, Ahmad, Turmudi, Abu
Dawud dan Darimi).
Atau
dengan kata lain definisi dari Ibadah ghairu mahdhah atau umum ialah segala
amalan yang diizinkan oleh Allah. misalnya ibadaha ghairu mahdhah ialah
belajar, dzikir, dakwah, tolong menolong dan lain
sebagainya. Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
a. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang
melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak
melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan. Selama tidak diharamkan
oleh Allah, maka boleh melakukan ibadah ini.
b. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal
istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebut nya, segala hal yang tidak
dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah
hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah
dhalalah.
c. Bersifat rasional,
ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya,
dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika
sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh
dilaksanakan.
d. Azasnya “Manfaat”,
selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
Maka
segala bentuk kegiatan baik yang ditujukan untuk meraih ridho Allah masuk ke
dalam ranah ibadah ghoiru mahdoh.
Lha
itu peringatan mulid nabi, isro’ mi’roj kan juga bid’ah tho ustadz? Betul,
itu bid’ah namun ia masuk ke dalam kategori sunnah hasanah (bukan sunnah
sayyi-ah). Mengapa? Dahulu Buya Hamka ketika kali pertama mendengar
aktifitas Maulid Nabi dan Isro’ Mi’roj juga mengatakan itu adalah bid’ah
sesuatu yang tidak pernah dijalankan oleh Rasulullah. Namun ketika beliau
menyaksikan sendiri rangkaian kegiatan tersebut yanga ternyata berisi
dzikir-dzikir kepada Allah dan mauidhoh hasanah yang mengajak umat untuk amar
ma’ruf nahi munkar serta untuk menteladani pribadi Rasulullah dan memikirkan
kekuasaan Allah yang telah menjalankan hambaNya Muhammad saw dari Masjidil
Haram-Masjidil Aqsha-Sidratul . Tentang Isra’ Mi’raj dalam Alqur’an disinggung
Q.S. Al Isra’ : 1
Artinya ; “Maha Suci Allah, yang
telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidilharam ke Al
Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Bagaimana
Umat akan bisa melihat kekuasaan Allah yang demikian hebat ini kalau mereka
tidak pernah diajak untuk mengaji (baca mengkaji)? Apalagi menjelaskan kepada
para pengikut Alqiyadah yang notabene tidak meyakini adanya Isra’ Mi’raj.
Mereka tidak akan percaya begitu saja dengan keterangan-keterangan normatif.
“Itu kan sudah diinginkan Allah. Kalau Allah berkehendak apapun akan terwujud.”
Lha
itu kan Isra’ Mi’raj, lha Maulid nabi kan tidak ada dalilnya ustadz?
Sampeyan
ini bagaimana, lihatlah sejarah bagaimana awal mula Maulid nabi diselenggarakan
oleh Salahuddin Al Ayyubi (Alqur’an memerintahkan kita untuk
melihat masa lalu untuk masa yang akan datang lihat Q.S. Al Hasyr
(59) : 18)
Sekarang
bagaimana umat bisa paham ayat Q.S. Al Ahzab (33) :21? Yang membahas tentang
perilaku nabi Muhammad bahkan menteladani perbuatannya (uswatun hasanah) kalau
mereka tidak pernah tahu? Baca buku ogah, lihat film tentang sejarah
nabi kalah dengan Hollywood dan Bollywood. Lalu pakai apa
dong?
“Makanya
ngaji dong ustadz?”
Apa
menurut sampeyan semua orang bisa kayak sampeyan ngaji rutin berjam-jam. Tidak
semua orang memiliki kesempatan dan peluang seperti sampeyan. Oleh karena itu
harus ada media yang bisa mengajak mereka untuk ngaji bareng dalam suasana yang
elegan, tidak terlalu formal. Di sinilah diperlukan HIKMAH dalam kita mengajak
umat untuk menuju jalan Tuhan.
Lihat
Q.S. An Nahl (16) : 125 :
ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة
الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن إن ربك
هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم
بالمهتدين
Artinya : “Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhanmu dengan HIKMAH dan pelajaran yang baik (Mauidhoh Hasanah)
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Dalam
Islam ada dalilul ‘am (Dalil umum) dan dalilul khos (dalil
khusus). Seperti halnya ibadah di atas yang terbagi ke dalam 2 bagian, yakni
ibadah dalam artian khusus (ibadah mahdhoh) dan ibadah dalam artian umum
(ibadah ghoiru mahdhoh). Maka ketika dalil khusus tidak dijumpai
kita harus merujuk kepada dalil ‘am.
Dengan
demikian, kalau kegiatan pengajian Maulid nabi Isra’ Mi’raj itu diberangus, apa
bisa sampeyan menciptakan sebuah forum atau kegiatan yang dapat menarik sekian
banyak orang untuk turut serta ngaji? Kalau bisa ya tidak apa-apa malahan
bagus.Di sinilah perlunya KREASI, IDE-IDE CERDAS yang mengajak kepada kebaikan.
Kapan Islam bisa mengikuti perubahan zaman yang kian modern kalau kita senantiasa
mundur ke zaman onta?.
D. Hakikat
Ibadah
Sebenarnya
dalam ibadah itu terdapat hakikatnya, yaitu [3] :
خُضُوعُ الرُّوْحِ يَنْشَا ُعَنِ
اسْتِشْعَارِالقلبِ بمحبة ِالمعبودِ وعظَمتهِ اعتقادا بان للعالم سلطا نا لايدْرِكُهُ العقلُ حقيقَتَهُ
“ ketundukan jiwa yang timbul dari
karena hati (jiwa) merasakan cinta akan Tuhan yang ma’bud dan merasakan
kebesaran-Nya, lantaran beri;tiqad bahwa bagi alam ini ada kekuasaan yang akal
tak dapat mengetahui hakikatnya".
Adapun
seorang arif juga mengatakan bahwa hakikat ibadah yaitu :
اصل العبادةِ ان ترضى لله مد
براومختارا, وترضى عنه قاسما ومعطيا ومانعا وترضاه اِلهًا ومعبودا
“ pokok ibadah itu, ialah engkau meridhoi Allah selaku
pengendali urusan; selaku orang yang memilih; engkau meridhai Allah selaku
pembagi, pemberi penghalang (penahan), dan engkau meridhai Allah menjadi
sembahan engkau dan pujaan (engkau sembah)
Didalam
ibadah itu terdapat berbagai macam penghalang ibadah [4]. Penghalangnya yaitu :
1. Rezeki dan keinginan memilikinya,
2. Bisikan-bisikan dan keinginan meraih tujuan,
3. Qadha; dan pelbagai problematika, dan
4. Kesusahan dan berbagai musibah.
E. Syarat-Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah
perkara taufiqiyyah, yaitu tidak ada suatu ibadah yang disyari’atkan
kecuali berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Apa yang tidak di
syari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak ), hal ini
berdasarkan sabda Nabi :
مَنْ عَمَِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدُّ.
“ Barangsiapa yang beramal tanpa
adanya tuntutan dari Kami, maka amalan tersebut tertolak.”
Ibadah-ibadah
itu bersangkut penerimaannya kepada dua faktor yang penting, yang menjadi
syarat bagi diterimanya. Syarat-syarat diterimanya suatu amal (ibadah) ada dua
macam yaitu[5]:
1. Ikhlas
قل انى امرت ان اعبد الله مخلصا له
الدين. وامرت لان اكون اول المسلمين (الزمر:11-12)
“Katakan olehmu, bahwasannya aku diperintahkan menyembah
Allah (beribadah kepada-Nya) seraya mengikhlaskan ta’at kepada-Nya; yang
diperintahkan aku supaya aku merupakan orang pertama yang menyerahkan diri
kepada-Nya.”
2. Dilakukan secara sah yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah
........فمن كان يرجوالقاءربه فليعمل
عملاصالحاولايشرك بعبادةربه احدا (الكهف:110)
“Barang siapa mengharap supaya menjumpai Tuhannya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang sholeh, dan janganlah ia mensyarikatkan
seseorang dengan tuhannya dalam ibadahnya itu”
Syarat
yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena
ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik
kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad
Rasulullah, karena ia menuntut wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti
syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.
Ulama’ ahli
bijak berkata: inti dari sekian banyak ibadah itu ada 4, yaitu[6]:
الوفاء بالعهدود والمحافطة على
الحدودوالصبر على المفقو والرضا بالموجود
1. Melakasanakan
kewajiban-kewajiban Allah
2. Memelihara diri dari semua yang diharamkan Allah
3. Sabar terhadap rizki yang
luput darinya
4. Rela dengan rizki yang
diterimanya.
F. KESIMPULAN
Ibadah
merupakan suatu uasaha kita untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah dalam
islam itu ada dua macam yaitu ibadah mahdhah dan ibadah ghairu
mahdhah. Hakikat ibadah itu adalah melaksanakan apa yang Allah cintai dan
ridhai dengan penuh ketundukan dan perendahan diri kepada Allah. Seorang hamba
yang ibadahnya ingin dikabulkan hendaklah haruis memenuhi 2 syarat yaitu ikhlas
dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah.
G. PENUTUP
Alhamdulillah
kami panjatkan kepada Allah, yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan waktu yng telah ditentukan. Harapan saya
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya sendiri dan para pembaca
sekalian. Kami memohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam
penulisan dalam materi yang disuguhkan dalam makalah ini. Terakhir kami
sampaikan selamat membaca.
H. DAFTAR
KEPUSTAKAAN
·
al Bantani, Imam Nawawi, Nashaihul
Ibad. Toha Putra : Semarang.
·
al Ghazali, Abu
Hamid, 2007. Minhaj al Abidin Ila al Jannah. Jogjakarta: Diva
Press.
·
ash Shiddieqy, Hasbi, 1991. Kuliah
Ibadah. Yogyakarta: Bulan Bintang.
·
Syukur, Prof. Amin MA, 2003. Pengantar
Studi Islam. Semarang :CV. Bima Sakti
· Alim, Drs. Muhammad, 2006. Pendidikan
Agama Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Foot note:
[1] Prof. Amin Syukur MA, Pengantar
Studi Islam, (Semarang :CV. Bima Sakti,2003), Hlm. 80.
[2] Drs. Muhammad Alim,
Pendidikan agama islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2006), Hlm. 144.
[3] Hasbi ash Shiddieqy, Kuliah
Ibadah, (yogyakarta: Bulan Bintang, 1991), Hlm. 8-9
[4] Abu Hamid Al Ghazali, Minhaj
Al Abidin Ila Al Jannah, (Jogjakarta: Diva Press,2007), Hlm. 183
[5] Hasbi Ash Shiddieqy, Kuliah
Ibadah, (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1991), Hlm. 12-13
[6] Imam Nawawi Al
Bantani, Nashaihul Ibad, (Toha Putra : Semarang,), Hlm. 29.
sumber :
mas-yuli.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar