Beberapa orang yang berhak menerima zakat 8 Asnaf Zakat Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya zakat-zakat ini, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, untuk orang-orang yang berhutang,
untuk di jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah:60).
Ibnu Katsir r.a. ketika menafsirkan ayat
ini dalam kitab tafsirnya II: 364 mengatakan, “Tatkala Allah SWT
menyebutkan penentangan orang-orang munafik yang bodoh itu atas
penjelasan Nabi saw. dan mereka mengecam Rasulullah mengenai pembagian
zakat, maka kemudian Allah SWT menerangkan dengan gamblang bahwa Dialah
yang membaginya. Dialah yang menetapkan ketentuannya, dan Dialah pula
yang memproses ketentuan-ketentuan zakat itu, sendirian, tanpa campur
tangan siapapun. Dia tidak pernah menyerahkan masalah pembagian ini
kepada siapapun selain Dia. Maka Dia membagi-bagikannya kepada
orang-orang yang telah disebutkan dalam ayat di atas :
Apakah Delapan Golongan Ini Harus Mendapatkan Bagian Semua ?
Pakar tafsir kenamaan Ibnu
Katsir menegaskan bahwa para ulama’ berbeda pendapat mengenai delapan
kelompok ini, apakah mereka harus mendapatkan bagian semua, ataukah
boleh diberikan kepada sebagian di antara mereka ? Dalam hal ini, ada
dua pendapat :
Pendapat pertama,
mengatakan bahwa zakat itu harus dibagikan kepada semua delapan kelompok
itu. Ini adalah pendapat Imam Syafi’I dan sejumlah ulama’ yang lain.
Pendapat kedua, menyatakan
bahwa tidak harus dibagikan kepada mereka semua, boleh saja, dibagikan
pada satu kelompok saja diantara mereka, seluruh zakat diberikan kepada
kelompok tersebut, walaupun ada kelompok-kelompok yang lain. Ini adalah
pendapat Imam Malik dan sejumlah ulama’ salaf dan khalaf, di antara
mereka ialah Umar bin Khatab, Hudzifah Ibnul Yaman, Ibnu Abbas
Abul’Aliyah, Sa’id bin Jubair, Maimun bin Mahcar, Ibnu Jarir mengatakan,
“Ini adalah pendapat mayoritas ahli ilmu. Oleh karena itu, penulis,
(Abdul ‘Azhim bin Badawi) menyebutkan semua kelompok yang berhak
menerima zakat di sini hanyalah untuk menjelaskan pengertian
masing-masing kelompok, bukan karena keharusan memberikan zakat itu
kepada semuanya.
Imam Ibnu Katsir mengatakan,
bahwa ia akan menyebutkan hadits –hadits yang bertalian dengan
masing-masing dari delapan kelompok kita:
Kelompok pertama ; Orang-orang fakir
Dari Abdullah Ibnu Umar bin al-Ash r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Zakat tidak halal bagi orang yang kaya dan tidak (pula) bagi orang yang sehat dan kuat,”
(Shahih : Shahihul Jami’ no: 7251, Tirmidzi II: 81 no: 647, ‘Aunul
Ma’bud V:42 no:1618, dan Abu Hurairah meriwayatkannya lihat Ibnu Majah
I:589 no: 1839 dan Nasa’i V:39).
Dari Ubaidillah bin ‘Adi bin
al-Khiyar r.a. bahwa ada dua orang sahabat mengabarkan kepadanya
bahwa mereka berdua pernah menemui Nabi saw. meminta zakat kepadanya,
maka Rasulullah memperhatikan mereka berdua dengan seksama dan
Rasulullah mendapatkan mereka sebagai orang-orang yang gagah. Kemudian
Rasulullah bersabda, “Jika kamu berdua mau, akan saya beri, tetapi
(sesungguhnya) orang yang kaya dan orang yang kuat berusaha tidak
mempunyai bagian untuk menerima zakat,” (Shahih : Shahih Abu Daud no:
1438, ‘Aunul Ma’bud V: 41 serta Nasa’i V:99).
Kelompok kedua; Orang-Orang Miskin
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling minta-minta agar diberi sesuap dua suap makanan dan satu biji kurma,” (Kemudian) para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Jawab Beliau,“Salah
mereka yang yang hidupnya tidak berkecukupan dan dia tidak punya
kepandaian untuk itu, lalau diberi shadaqah, dan mereka tidak mau
minta-minta kepada orang lain.” (Muttafaqun ‘alaih:Muslim II : 719
no:1039 dan lafadz baginya, Fathul Bari III : 341 no: 1479, Nasa’i V:85
dan Abu Daud V:39 no: 1615).
Kelompok ketiga: Para Amil Zakat
Mereka adalah orang-orang yang bertugas menarik dan mengumpulkan zakat. Mereka berhak mendapatkan bagian dari zakat, namun mereka tidak boleh berasal dari kalangan kerabat Rasulullah saw. yang haram menerima zakat. Hal ini ditegaskan oleh hadits shahih riwayat Imam Muslim dan lain-lain :
Mereka adalah orang-orang yang bertugas menarik dan mengumpulkan zakat. Mereka berhak mendapatkan bagian dari zakat, namun mereka tidak boleh berasal dari kalangan kerabat Rasulullah saw. yang haram menerima zakat. Hal ini ditegaskan oleh hadits shahih riwayat Imam Muslim dan lain-lain :
Dari Abdul Mutthalib bin
Rabi’ah al Harits bahwa ia pernah berangkat di Fadhl bin al Abbas r.a.
menghadap Rasulullah saw. lalu memohon kepada beliau agar mereka
diangkat sebagai penarik dan pengumpul zakat. Maka (kepada mereka).
Beliau bersabda, “Sesungguhnya zakat itu tidak halal bagi keluarga
Muhammad dan tidak (pula) bagi keluarga Muhammad; karena zakat itu
adalah kotoran (untuk mensucikan diri) manusia.” (Shahih ; Shahihul
Jami’ no:1664, Muslim II : 752 no:1072, ‘Aunul Ma’bud VIII: 205.(Imam
Nawawi berkata, “Ma’na AUSAKHUN NAAS ialah zakat itu sebagai pembersih
harta benda dan jiwa mereka, sebagaimana yang ditegaskan Allah Ta’ala, “Pungutlah sebagian dari harta benda mereka sebagai zakat yang mensucikan mereka dan membersihkan (jiwa) mereka.“ Jadi zakat adalah pembersih kotoran. Lihat Syarah Muslim VII:251).
Kelompok keempat : Orang-orang Muallaf
Kelompok muallaf ini terbagi menjadi beberapa bagian.
1.Orang yang diberi sebagian zakat agar
kemudian memeluk Islam. Sebagai misal Nabi saw. pernah memberi Shafwan
bin Umayyah sebagian dari hasil rampasan perang Hunain, dimana waktu itu
ia ikut berperang bersama kaum Muslimin:
“Nabi saw. selalu memberi kepada hingga
beliau menjadi orang yang paling kucintai, setelah sebelumnya beliau
menjadi orang yang paling kubenci.” (Shahih : Mukhtashar Muslim no:
1558, Muslim II:754 no:168 dan 1072, ‘Aunul Ma’bud VIII: 205-208 no:
2969, dan Nasa’i V:105-106).
2.Golongan orang yang diberi zakat dengan harapan agar keislamannya kian baik dan hatinya semakin mantap.
Seperti pada waktu perang Hunain
juga,ada sekelompok prajurit beserta pemukanya diberi seratus unta,
kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya aku benar-benar
memberi zakat kepada seorang laki-laki, walaupun selain dia lebih
kucintai daripadanya (laki-laki tersebut) karena khawatir Allah akan
mencampakkannya ke (jurang) neraka Jahanam.” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari I: 79 no:27, Muslim I:132 no:150, ‘Aunul Ma’bud XII : 440 no:4659, dan Nasa’i VIII:103).
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
disebutkan dari Abu Sa’id r.a. bahwa Ali r.a. pernah diutus menghadap
kepada Nabi saw. dari Yaman dengan membawa emas yang masih berdebu, lalu
dibagi oleh beliau saw. kepada empat orang (pertama) al-Aqra’ bin
Habis, (kedua) Uyainah bin Badr, (ketiga) ‘Alqamah bin ‘Alatsah, dan
(keempat) Zaid al-Khair, lalu Rasulullah bersabda, “Aku menarik hati
mereka.” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari III: 67 no:4351, Muslim II:741
no:1064, ‘Aunul Ma’bud XIII : 109 no:4738).
3.Bagian ini ialah orang-orang muallaf yang diberi zakat lantaran rekan-rekan mereka yang masih diharapkan juga memeluk Islam.
4.Mereka yang mendapat bagian zakat agar
menarik zakat dari rekan-rekannya, atau agar membantu ikut mengamankan
kaum Muslimin yang sedang bertugas di daerah perbatasan. Wallahu a’lam.
Apakah muallaf sepeninggal Nabi saw. masih berhak mendapatkan bagian dari zakat ?
Ibnu Katsir r.a. mengatakan bahwa dalam
hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama’ bahwa para muallaf
tidak usah diberi bagian dari zakat setelah beliau wafat, karena Allah
telah memperkuat agama Islam dan para pemeluknya serta telah memberi
kedudukan yang kuat kepada mereka di bumi dan telah menjadikan
hamba-hambaNya tunduk pada mereka (kaum muslimin).
Kelompok yang lain
berpendapat, bahwa para muallaf itu tetap harus diberi, karena
Rasulullah saw. pernah memberi mereka zakat setelah penaklukan kota
Mekkah dan penaklukan Hawazin, zakat ini kadang-kadang amat dibutuhkan
oleh mereka, sehingga mereka harus mendapat alokasi bagian dari zakat.
Kelompok kelima :Untuk memerdekakan Budak
Diriwayatkan dari al-Hasan
al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, Umar bin Abdul Aziz, Sa’id bin Jubair,
an-Nakha’i, az-Zuhri, Ibnu Zaid bahwa yang dimaksud riqab, bentuk jama’
dari raqabah “budak belian” ialah hamba mukatab (hama yang telah
menyatakan perjanjian dengan tuannya bilamana sanggup menghasilkan harta
dengan nilai tertentu dia akan dimerdekakan, pent). Diriwayatkan juga
pendapat yang semisal dengan pendapat tersebut dari Abu Musa al-Asy’ari,
dan ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan al-Lain.
Ibnu Abbas dan al-Hasan
berkata, “Tidak mengapa memerdekakan budak belian dengan uang dari
zakat.” Ini juga menjadi pendapat Mazhab Imam Ahmad, Imam Malik, dan
Imam Ishaq. Yaitu bahwa kata riqab lebih menyeluruh ma’nanya daripada
sekedar memberi zakat kepada hamba mukatab, atau sekedar membeli budak
lalu dimerdekakan.
Ada banyak hadits yang
menerangkan besarnya pahala memerdekakan budak, dan Allah SWT untuk
setiap anggota badan budak tersebut memerdekakan satu anggota badan
orang yang memerdekakannya dari api neraka, sampai untuk kemaluan sang
budak Allah memerdekakan kemaluan orang yang memerdekakannya.
Sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits berikut :
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa
yang telah memerdekakan seorang budak mukmin, niscaya Allah dengan
setiap anggota badannya akan membebaskannya anggota badan (orang yang
memerdekakannya) dari api neraka, hingga orang itu memerdekakan
(masalah) kemaluan dengan kemaluan.” (Shahih : Shahihul Jami’us Shaghir no:6051, Tirmidzi III:49 no: 1581).
Hal itu tidak lain, karena balasan suatu amal perbuatan sejenis dengan amal yang dilakukannya. Allah berfirman, “Dan kamu tidak diberi pembalasan, melainkan apa yang telah kamu lakukan.” (QS.ash-Shaffat.39).
Kelompok keenam : Orang-orang yang Berhutang
Mereka terbagi menjadi beberapa bagian : Pertama,
orang yang mempunyai tanggungan atau dia menjamin suatu hutang lalu
menjadi wajib baginya untuk melunasinya kemudian meludeskan seluruh
hartanya karena hutang tersebut; kedua, orang yang bangkrut; ketiga, orang yang berhutang untuk menutupi hutangnya; dan keempat, orang yang berlumuran maksiat, lalu bertaubat. Maka mereka semua layak menerima bagian dari zakat.
Dasar yang menjadikan pijakan
untuk masalah ini ialah hadits dari Qubaishah bin Mukhariq al-Hilali
r.a. ia berkata, Aku pernah mempunyai tanggungan (untuk mendamaikan dua
pihak yang bersengketa), kemudian aku datang kepada Rasulullah saw.
menanyakan perihal beban tanggungan itu. Maka Beliau bersabda,
“Tegakkanlah, hingga datang zakat untuk kuberikan kepadamu!” Rasulullah
saw. melanjutkan sabdanya, “Ya Qubaishah sesungguhnya meminta-minta itu
tidak halal, kecuali bagi tiga golongan: (Pertama) orang-orang
yang memikul beban untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa, maka
dihalalkan baginya meminta, sampai berhasil mendapatkannya, sehingga
berhenti memintanya. (Kedua), orang yang tertimpa kebingungan
yang sangat, karena rusaknya harta bendanya, maka kepadanya dihalalkan
meminta zakat, sehingga ia mendapatkan kekuatan untuk menutupi kebutuhan
hidupnya. (Ketiga), orang yang mendapatkan kesulitan hidup
hingga tiga orang dari pemuka kaumnya berdiri (lalu bertutur), bahwa
kesulitan hidup telah menimpa si fulan, maka baginya dihalalkan meminta
hingga mempunyai kekuatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka tidak
ada hak bagi selain yang tiga kelompok itu untuk meminta wahai
Qubaishah!” (Shahih : Mukhtashar Muslim no: 568, Muslim II: 722
no:1044, ‘Aunul Ma’bud V:49 no: 1624, dan Nasa’i V:96).
Kelompok ketujuh : fi sabilillah ialah para mujahid sukarelawan yang tidak memiliki bagian atau gaji yang tetap dari kas negara.
Menurut Imam Ahmad, al-Hasan
al-Bashri dan Ishaq bahwa menunaikan ibadah haji termasuk fi sabilillah.
Menurut hemat penulis Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi, tiga imam itu
mendasarkan pendapatnya pada hadits berikut :
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata
bahwa Rasulullah saw. bermaksud hendak menunaikan ibadah haji. Lalu ada
seorang wanita berkata kepada suaminya (tolong) hajikanlah aku bersama
Rasulullah saw.” Maka jawabnya, “Aku tidak punya biaya untuk
menghajikanmu.“ Ia berkata (lagi) kepada suaminya, “(Tolong) hajikanlah
diriku dengan biaya dari menjual untamu (yang berasal dari zakat) si
fulan itu.” Maka jawabnya, “Itu diperuntukkan fi sabilillah Azza Wa
Jalla.” Kemudian sang suami datang menghadap Rasulullah saw. lalu
bertutur, “(Ya Rasulullah), sesungguhnya isteriku menyampaikan salam
kepadamu; dan ia meminta kepadaku agar ia bisa menunaikan ibadah haji
bersamamu. Ia mengatakan, kepadaku, “(Tolong) hajikanlah aku dengan
biaya dari hasil menjual untamu (yang berasal dari zakat) si fulan itu,’
Lalu saya jawab, “Itu diperuntukkan fi sabilillah,’ “Maka Rasulullah
saw. bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya, kalau engkau menghajikannya dengan biaya berasal dari hasil tersebut, berarti fi sabilillah juga).” (Hasan Shahih : Shahih Abu Daud no : 1753, ‘Aunul Ma’bud V:465 no : 1974, Mustadrak Hakim I: 183, dan Baihaqi VI: 164).
Kelompok kedelapan : Ibnu Sabil
Adalah seorang yang musafir
melintas di suatu negeri tanpa membawa bekal yang cukup untuk
kepentingan perjalanannya, maka dia pantas mendapat alokasi dari bagian
zakat yang cukup hingga kembali ke negerinya sendiri, meskipun ia
seorang yang mempunyai harta.
Demikian juga hukum yang
diterapkan kepada orang yang mengadakan safar dari negerinya ke negeri
orang dan dia ia tidak membawa bekal sedikitpun, maka ia berhak diberi
bagian dari zakat yang sekiranya cukup untuk pulang dan pergi. Adapun
dalilnya ialah ayat enam puluh surah at-Taubah dan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah.
Dari Ma’mar dari Yasid bin Aslam, dari ‘Atha’ bin Yassar dari Abi Sa’id r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Zakat
tidak halal bagi orang yang kaya, kecuali bagi lima (kelompok):
(pertama) orang kaya yang menjadi amil zakat, (kedua) orang kaya yang
membeli barang zakat dengan harta pribadinya, (ketiga) orang yang
berutang; (keempat) orang kaya yang ikut berperang di jalan Allah,
(kelima) orang miskin yang mendapat bagian zakat, lalu dihadiahkannya
kembali kepada orang kaya,” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7250, ‘Aunul Ma’bud V : 44 no : 1619, dan Ibnu Majah I: 590 no :1841).
Sumber: Diadaptasi dari ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 439 – 448.
jika ingin ber zakat ke laz nahwa nur saja, insyaallah amanah dan terpecaya www.laznahwanur.org
BalasHapus