Hukum Mandi.
Bagi orang yang akan melakukan
shalat, tidak sah sholatnya jika masih mempunyai hadast besar.
Hadast besar adalah hadast yang
disebabkan oleh Bersetubuh, Keluarmani, haid, nifas, dan melahirkan. Hadast
besar dapat dihilangkan dengan mandi junub / janabat / mandi wajib / mandi
hadast besar. Hukum mandi besar adalah wajib.
Sebab - sebab yang mewajibkan mandi
Junub
Sebab - sebab yang mewajibkan mandi
Junub adalah:
- Bersetubuh (walaupun tidak keluar
air mani)
- Keluar air mani (baik karena
bersetubuh maupun karena mimpi atau sebab lainnya)
- Mati yang bukan Syahid (Orang mati
syahid tidak wajib dimandikan)
- Selesai haid (menstruasi)
- Selesai Nifas
- Wiladah (melahirkan).
Ciri - ciri Air Mani adalah:
- keluarnya dari Kubul dengan memancar
(tersendat-sendat).
- Saat keluar terasa Nikmat.
- Baunya:
a. Jika masih basah seperti bau
adonan roti atau bau mayang korma.
b. Jika sudah kering seperti bau
putih telur.
Fardhu Mandi Besar / Junub ada 3 yaitu:
1. Niat.
Niat ini dibaca dalam hati pada saat
mulai membasuh bagian manapun dari tubuh.
Lafadz Niat Mandi Besar adalah:
NAWAITUL GHUSLA LIRAF'IL HADATSIL
AKBARI FARDHAN LILLAAHI TA'AALAA.
Artinya:
"Aku berniat mandi besar untuk
menghilangkan hadats besar fardhu karena Allah Taala."
2.
Membasuh seluruh tubuh dengan air sampai rata (serta rambut dan kulitnya harus
terkena air).
3.
Menghilangkan Najist jika ada yang menempel pada tubuh.
Sunat Mandi ada 5, yaitu:
1. Membaca Basmalah
("Bismillahir rahmaanir rahiim pada saat akan mulai mandi.
2. Berwudhu (sebelum mandi) seperti
wudhu hendak sholat.
3. Membasuh (menggosok) badan dengan
tangan sampai 3 kali.
4. Mendahulukan yang kanan dari pada
yang kiri.
5. Muwalat, yaitu sambung menyambung
dalam membasuh anggota badan.
MANDI SUNAT
Selain mandi wajib, ada beberapa
mandi yang disunatkan, yaitu:
- Mandi ketika hendak Sholat Jumat.
- Mandi ketika hendak Sholat Idul
Fitri.
- Mandi ketika hendak Sholat Idul
Adha.
- Mandi setelah sembuh dari penyakit
gila.
- Mandi ketika hendak melaksanakan
ihram haji atau umrah.
- Mandi setelah memandikan mayat.
- Mandi seorang kafir setelah masuk
islam.
Larangan bagi orang yang mempunyai
Hadast Besar:
A.
Larangan bagi orang yang sedang Junub:
- Mendirikan Sholat, baik shalat
wajib / sunat.
- Mengerjakan Thawaf (Thawaf rukun
haji / sunat).
- Menyentuh / membawa Al-quran.
- Berhenti lama (berdiam di masjid)
/ Itikaf.
B.
Larangan bagi orang yang sedang Haid / Nifas:
-Semua larangan point2 diatas.
- Di cerai (ditalak)
- Berpuasa (wajib / sunat)
- Bersetubuh
- Bersenang - senang antara pusar
perut dan lutut.
- Menyeberangi mesjid jika khawatir
mengotorinya dengan darah.
Sumber :
gudangdoa.blogspot.com/2013/01/mandi-besar-mandi-junub.htm
Islam mengajak umatnya agar bersuci.
Suci lahir, suci batin, dan suci segala-galanya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ
وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang taubat, dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam bersabda,
الطُّهُوْرُ شَطْرُالاِيْمَانِ
“Suci separuh dari iman.” (HR. Muslim)
Karena itu Allah menjadikan kesucian
yang sempurnya menjadi salah satu syarat sahnya shalat.
لاَتُقْبَلُ صَلاَ ةٌ بِلاَ طُهُوْرٍ
“Allah tidak menerima shalat
seseorang yang tanpa thoharoh (bersuci).”
(HR. Muslim)
Salah satu bentuk bersuci yang Allah
dan Rasul-Nya ajarkan adalah mandi. Di mana hal itu telah Allah tetapkan dalam
Al-Qur’an dan juga Hadist.
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا
فَاطَّهَّرُوا
“Dan jika kalian dalam keadaan
junub, maka mandilah.” (QS.
Al-Ma’idah: 6)
Demikian juga dalam firman Allah
yang lain,
وَلَا
جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
“Janganlah menghampiri masjid,
sedang kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, sehingga
kalian mandi.” (QS. An-Nisa: 43)
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa
sallam bersabda,
إِذَا تَجَاوَزَ الخِتَانِ فَقَدْ
وَجَبَ الغُسْلُ
“Apabila dua kemaluan saling
bersentuhan, maka telah diwajibkan atas keduanya untuk mandi.” (HR. Muslim)
Mandi di sini adalah membasahi
seluruh tubuh dengan air. Mandi di sini mesti diawali dengan niat untuk mandi
wajib. Menetapkan niat dalam mandi ini merupakan hal yang wajib bagi laki-laki maupun
wanita.
Hal-hal yang mewajibkan mandi
Pertama: Keluarnya mani karena
syahwat, baik dalam tidur maupun tidak
Hendaklah diketahui, bahwa keluarnya
mani yang disertai rasa nikmat mewajibkannya untuk mandi, baik itu dalam
keadaan tidur maupun tidak. Ini merupakan pendapat para fuqaha secara umum. Hal
ini sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadist, bahwa Ummu Sulaim pernah
bertanya:
يَارَسُوْلَ
اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحي مِنَ الحَقِّ هَلْ عَلَى المَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ
إِذَا هِيَ اِحْتَلَمَتْ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: نَعَمْ إِذَا رَأَتْ المَاءَ
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya
Allah tidak malu terhadap kebenaran (maka aku pun tidak malu untuk bertanya):
Apakah wanita wajib mandi bila bermimpi? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Ya, apabila ia melihat air mani setelah ia bangun.” (Muttafaqun Alaih)
Para ulama menyebutkan tiga
ciri-ciri air mani:
- Keluar dengan memancar.
- Memiliki bau yang khas. Jika sudah kering maka baunya seperti bau telor dan jika basah maka baunya seperti bau adonan.
- Ketika keluar tubuh menjadi lemas.
Adapun warnanya maka air mani
laki-laki itu berwana putih dan kental, sedangkan bagi wanita berwarna kuning
dan encer.
Maka perlu diketahui juga bahwa jika
air mani keluar saat tidur maka wajib mandi, baik ada tanda-tanda di atas
maupun tidak, sebab orang yang tidur terkadang tidak merasakannya. Ini sering
terjadi apabila seseorang bangun dan menemukan bekas air mani, padahal dia
tidak merasa bermimpi. Hal ini berdasarkan hadist yang telah disebutkan di
atas, yaitu ketika Ummu Sulaim pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wa Sallam tentang seorang wanita yang bermimpi seperti mimpinya
laki-laki, apakah dia wajib mandi? Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam
menjawab,
نَعَمْ إِذَا رَأَتْ المَاءَ
“Ya, apabila ia melihat
air mani setelah ia bangun.” (Muttafaqun Alaih)
Artinya, ketika itu wajib mandi
apabila melihat air mani. Tidak ada syarat selain itu. Maka ini jelas
menunjukan kewajiban mandi bagi orang yang bangun dari tidur dan menemukan air
mani, baik dia merasakan keluarnya maupun tidak, baik dia telah yakin bermimpi
maupun tidak, sebab orang yang tidur bisa saja lupa.
Kedua: Jima’ (bersetubuh) sekalipun
tidak mengeluarkan mani
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
dari Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : إِذَا جَلَسَ بَيْنَ
شَعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الغُسْلُ وَإِنْ لَمْ
يَنْزِلْ
“Apabila seseorang duduk di antara
empat anggota badan (istrinya), lalu bersungguh-sungguh memperlakukannya (yaitu
jima’), maka ia wajib mandi, sekalipun tidak mengeluarkan (air mani).” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 152 dan Muslim I:271 no:
384).
Makna jima’ di sini adalah masuknya
bagian ujung kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita. Dan makna “masuk”
adalah masuk dan tidak kelihatan lagi. Apabila seorang laki-laki memasukkan
ujung kemaluannya ke dalam kemaluan wanita hingga tidak terlihat lagi maka
laki-laki dan wanita itu wajib mandi, baik keluar air mani maupun tidak.
Ketiga: Masuk Islamnya orang kafir
Apabila orang kafir masuk islam maka
dia wajib mandi, baik dia adalah kafir asli atau kafir murtad.
Kafir asli adalah dari awal hidupnya
tidak beragama Islam, seperti orang Yahudi, Nasrani, Budha dan semisalnya.
Kafir murtad adalah orang Islam yang
keluar dari agama, -kita memohon keselamtan kepada Allah-. Seperti orang
yang meninggalkan shalat atau meyakini bahwa Allah memiliki sekutu (dzat yang
setara dengan-Nya), atau menyeru Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam
agar beliau menolongnya dalam kesulitan, atau menyeru orang lain agar dia
menolongnya dalam suatu perkara yang tidak mungkin dilakukan kecuali oleh Allah
semata.
Adapun dalil wajibnya mandi karena
memeluk agama Islam adalah sebagai berikut:
Pertama: Hadist Qais bin Ashim,
عَنْ قَيْسِ بْنِ عَاصِمٍ أَنَّهُ
أَسْلَمَ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّ
يَغْتَسِلَ بِمَاءٍوَسِدْرٍ
“Dari Qais bin Ashim Radhiyallahu Anhu bahwa ia masuk Islam,
lalu diperintah oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam agar mandi dengan
menggunakan air yang dicampur dengan daun bidara.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 128, Nasa’I I: 109, Tirmidzi,
II:58 no: 602 dan ‘Aunul Marbud II: 19 no: 351).
Kedua: Orang yang masuk Islam
berarti mensucikan batinnya dari najis kemusyrikan. Maka, sangat baik sekali
bila lahirnya dia sucikan dengan mandi.
Keempat: Meninggal dunia
Maksudnya, apabila seseorang
meninggal dunia maka kaum muslimin yang lain wajib memandikannya. Adapun
dalilnya adalah:
1)
Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam terkait orang yang diinjak
oleh unta hingga meninggal di Arafah,
اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Mandikan dia dengan air dan sidr
(bidara).” (Muttafaqun ‘alaih)
2) Hadist Ummu ‘Athiyah ketika
anak wanitanya meninggal dunia. Dalam hadist ini, Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wa Sallam bersabda,
اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا
أَوْ سَبْعًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ
“Mandikan dia sebanyak tiga kali
(siraman), lima kali, tujuh kali atau lebih jika kalian menganggap itu perlu.” (Muttafaqun ‘alaih)
Perlu diketahui di sini, jika ada
seorang muslimah yang meninggal maka harus di mandikan oleh sesama muslimah
bukan bapak, paman, atau saudara laki-laki kandungannya meskipun mereka
mahromnya. Akan tetapi, jika dimandikan oleh suaminya maka boleh.
Kelima: Haidh
Apabila seorang wanita telah selesai
haidh maka diwajibkan baginya untuk mandi. Berhentinya darah haidh (yang
keluar dari rahim) merupakan syarat wajibnya mandi. Oleh karena itu, apabila
dia mandi sebelum suci (darah berhenti keluar) maka mandinya tidak sah, sebab
di antara syarat sah mandi adalah suci. Adapun dalil wajib mandi karena haid
adalah
Firman Allah telah mengisyaratkan
perbuatan ini,
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى
يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka
itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Maksud “mereka telah suci” adalah
mereka telah mandi.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam bersabda,
فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ
فَدَعِي الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي وَصَلِّيْ
“Jika telah tiba masa haidhmu maka
tinggalkan shalat, dan bila selesai masa haidmu maka mandilah kemudian
shalatlah.” (HR. Bukhari)
Selain itu, hadist yang berasal dari
Fathimah binti Abi Hubaisy Radhiyallahu anha, ia menceritakan pada Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wa Sallam bahwa dia mengalami haid, lalu beliau memerintahkannya
untuk berhenti melakukan ibadah karena ia tidak dalam keadaan suci. Kemudian
setelah darah berhenti keluar, dia diperintahkan untuk mandi dan shalat.
Keenam: Nifas
Nifas adalah darah yang keluar pada
saat persalinan, baik keluar sebelum persalinan, yaitu selama dua atau tiga
hari ataupun setelah persalinan dengan dibarengi rasa sakit. Adapun dalil kewajiban
mandi karena nifas adalah karena ia salah satu jenis haid. Oleh karena itu,
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menyebut haid dengan kata nifas.
Beliau bersabda kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anha yang sedang haidh,
لَعَلِّكِ نَفِسْتِ
“Barangkali saja engkau nifas.”
(Muttafaqun ‘alaih)
Makna “nifas” di sini adalah haidh
karena ‘Aisyah tidak pernah melahirkan anak sehingga ‘Aisyah tidak mengalami
nifas. Akan tetapi hadist ini dapat digunakan sebagai dalil bahwa nifas sama
dengan haid yang berarti hukum-hukum seputar nifas sama dengan haidh, salah
satunya berkaitan dengan wajibnya mandi bagi wanita seusai nifas sebagaimana
hal itu juga diwajibkan bagi wanita seusai masa haidh.
Wallahua’lam
Referensi:
Buku “Shahih Fiqih Wanita Menurut
Al-Qur’an dan As-Sunnah” (terjemah dari Fiqhul Mar’atil Muslimah) karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, penerbit: Akbarmedia
Buku “Al-Wajiz” (terjemah dari
Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah walkitabil ‘Aziz) karya ‘Abdul ‘Azhim bin
Badawi al-Khalafi, penerbit: Pustaka as-Sunnah.
Buku “Fikih Wanita Edisi Lengkap”
(terjemah dari Al- Jami’ fii Fiqhi An-Nisa’) oleh Syaikh Kamil Muhammad
Uwaidah, penerbit Pustaka Al Kautsar
Buku “Ensiklopedi Wanita Muslimah”
(terjemah dari Mausu’ah Al-Mar’atul Muslimah) oleh Haya binti Mubarok Al-Barik,
penerbit: Darul Falah
Penulis: Ummu Faqih
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
Artikel www.remajaislam.com
0 komentar:
Posting Komentar