Rabu, 26 Juni 2013

Arti dan hukum fidyah
Fidyah adalah denda atau tebusan yang dilakukan oleh seorang muslim karena ia telah melakukan kesalahan-kesalahan tertentu dalam ibadah. Hukum fidyah adalah wajib sebagaimana dalam QS al-Baqarah: 184 “...Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin...”                                                                                                                                                     

Ukuran fidyah
Fidyah yang harus dibayar ialah memberi makan seorang miskin untuk satu hari puasa yang ditinggalkan. Tidak diterangkan dalam al-Qur’an atau Hadits tentang ukuran banyak atau sedikitnya fidyah itu, yang ditentukan hanya memberi makan orang miskin. Memberi makan seorang miskin itu apakah untuk satu kali makan atau satu hari makan, apakah makanan tersebut yang sudah dimasak atau yang belum dimasak. Oleh karena itu para fuqoha berbeda pandangan dalam menentukan ukurannya. Yang pasti menurut jumhur, fidyah berupa satu mudd makanan yang mengenyangkan untuk setiap hari.
Mazhab Hanafi berpendapat ukuran fidyah sebanyak setengah sha’ biji gandum atau satu sha’ untuk makanan pokok selain gandum atau uang senilai itu. Sementara Ibnu Qudamah al-Hambali berpandangan bahwa ukuran fidyah adalah memberi makan orang miskin sebesar satu mudd gandum atau setengah sha’ kurma. (Sha’ adalah ukuran yang digunakan oleh orang Arab sejak zaman dahulu, yaitu 3 1/3 liter = 2,15 kg. Sedangkan mudd adalah ukuran berat 625 gram).
Jadi fidyah dengan memberi makan seorang miskin itu bisa dengan memberi makan untuk sekali makan yang sudah dimasak atau belum, dan bisa juga memberi makan seorang miskin untuk satu hari makan (jika di bulan Ramadhan maka dapat dihitung makan sahur dan berbukanya).
Karena fidyah ini tidak ditentukan secara detail dalam al-Qur’an maupun Hadits, hanya prinsipnya memberi makan seorang miskin untuk setiap satu hari tidak berpuasa, maka cara yang lebih baik dan aman tentu saja membayar fidyah dengan melakukan yang paling bermanfaat bagi orang miskin tersebut. Jika yang bermanfaat bagi orang miskin yang sudah berkeluarga memberikannya beras maka dapat diberikan kepadanya beras, atau bisa juga nilai makanan kita yang diuangkan kemudian dibelikan beras atau dapat juga memberi orang miskin dari makanan yang sudah dimasak bagi yang belum berumah tangga. Pemberian uang kepada orang miskin dengan senilai harga makanan atau harga beras untuk fidyah sebaiknya dihindari apabila kita tidak yakin terhadap orang miskin tersebut apakah yang akan dibelikannya itu makanan kebutuhannya. Dalam kasus tertentu ada yang membeli bukan makanan, melainkan rokok, mainan anak-anaknya dan lain-lain yang merupakan bukan kebutuhan pokoknya.   
Al-Qur’an dan Hadits juga tidak menerangkan tentang teknis mengeluarkan fidyah, apakah harus tiap hari atau bisa sekaligus. Oleh karena itu fidyah bisa dibayar saat seseorang tersebut tidak berpuasa dan bisa juga dibayarkan sekaligus untuk beberapa hari sebanyak hitungan hari ia tidak berpuasa.

Penyebab fidyah                                                                                                                                                      
Orang-orang yang diharuskan membayar fidyah adalah:
  1. Orang yang sangat tua dan tidak mampu lagi berpuasa.
  2. Orang yang sakit parah dan kesembuhannya tidak bisa diharapkan lagi.
  3. Orang yang apabila berpuasa akan membuatnya menderita kesulitan yang sangat berat, seperti orang yang mencari nafkah dengan bekerja berat (misalnya pekerja tambang) dan tidak memungkinkannya untuk mengqodho’ puasanya.
  4. Menurut jumhur ulama selain mazhab Hanafi, fidyah juga diwajibkan bersamaan dengan qodho kepada perempuan hamil atau menyusui yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan karena mengkhawatirkan anak atau janinnya. Sedangkan mazhab Hanafi berpendapat bahwa perempuan hamil atau menyusui tidak diwajibkan mengeluarkan fidyah, hanya wajib qodho’ puasa saja.   
  5. Menurut jumhur ulama selain mazhab Hanafi, fidyah bersama qodho’ juga diharuskan kepada orang yang meremehkan pengqodhoan puasa Ramadhan. Misalnya orang yang belum mengqodho’ puasanya sampai datang Ramadhan berikutnya. Ini sebagai kafarat atas kelalaiannya dalam mengqodho’ puasa. Jumlah fidyah yang dibayar disesuaikan dengan jumlah puasa yang belum diqodho’. Kafarat ini tidak diwajibkan bagi orang yang uzurnya terus berlangsung seperti menderita sakit, terhalang oleh haid atau nifas dan lain-lain.    

c. Ada 2 kondisi bagi orang yang meninggal terkait dengan kewajiban puasa Ramadhan:  
1. Orang tersebut wafat sebelum sempat berpuasa karena waktu yang sempit atau adanya uzur seperti sakit sehingga tidak sanggup berpuasa, maka orang yang wafat dalam kondisi seperti ini menurut mayoritas fuqoha tidak berkewajiban apapun, sebab ia tidak melalaikan atau meremehkan puasa Ramadhan. Ia tidak berdosa karena tidak  mampu melaksanakan puasa hingga ajal menjemputnya. Hukum wajibnya gugur sebagaimana halnya kewajiban haji. Ahli waris dan wali dari orang yang meninggal ini tidak berkewajiban menggantikan puasa atau membayarkan fidyahnya.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                    2. Orang tersebut wafat setelah ia berkemungkinan melakukan puasa (mengqodho’nya). Maka ada perbedaan pendapat dalam hal ini.                                                                                         
  • Menurut mayoritas fuqoha walinya tidak perlu berpuasa untuknya, melainkan hanya membayarkan fidyah yang dikeluarkan dari harta yang ditinggalkan orang tersebut. Bahkan menurut qaulul jadid mazhab Syafi’i, jika walinya berpuasa untuknya maka puasanya tidak sah karena puasa merupakan ibadah badaniyah mahdhoh sama halnya dengan shalat yang tidak bisa diwakilkan pada saat masih hidup atau pun sesudah meninggal. Yang wajib dilakukan oleh ahli waris/walinya  hanyalah membayarkan fidyah baginya sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar: Barangsiapa mati, sedangkan dia mempunyai tanggungan puasa selama sebulan, hendaknya dia diwakili oleh walinya untuk memberi makan seorang miskin setiap hari. (HR Ibnu Majah)
  • Menurut sebagian mazhab Hambali, sekelompok muhaddits mazhab Syafi’i, Abu Tsaur al-Auza’i, dan sebagainya, berpendapat bahwa ahli waris dan wali orang yang sudah wafat tersebut disunahkan berpuasa baginya sebagai tindakan kehati-hatian demi terbebasnya mayat dari tanggungannya. Dalil mereka adalah beberapa hadits, di antaranya hadits muttafaq ‘alaihi yang diriwayatkan dari Aisyah, Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa mati sedangkan dia memiliki tanggungan puasa, hendaknya walinya berpuasa untuknya.                                                     

Tentu ahli waris atau wali dari orang yang sudah meninggal apabila tidak tahu berapa hutang puasa yang belum dibayar almarhum atau almarhumah tidak berkewajiban membebankan dirinya dengan sesuatu yang tidak ia ketahui. Yang dapat dilakukan oleh ahli waris atau wali adalah memohonkan ampunan pada Allah atas dosa-dosa yang pernah diperbuat almarhum atau almarhumah semasa hidupnya, menunaikan wasiatnya, menyambung silaturrahim dengan orang-orang yang pernah menjalin hubungan dengan beliau semasa hidup, membayar utang piutang beliau atau mewakafkan atau menginfaqkan harta untuk/atas nama beliau. Wallahu a’lam.

d. Dari penjelasan di atas dan ketidaktahuan tentang qodho’ puasa almarhum, maka yang dapat Anda lakukan adalah bersedekah atas nama almarhumah. Dalam hadits diterangkan tentang sampainya pahala sedekah kepada mayit. Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada di tempat, lalu ia datang kepada Nabi saw untuk bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya?” Rasululullah saw menjawab: “Ya”. Saad berkata: “Saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya.” (HR Bukhari)


Membayar fidyah ada dua cara :
Cara Pertama, dibayar secara satu per satu atau bertahap/dicicil.
Dengan syarat dia harus sudah melalui / melewati hari yang ia tidak berpuasa padanya. Gambarannya :
-         Dia memberi makan kepada satu orang miskin untuk tiap hari yang ia tinggalkan. Misalnya : Dia tidak berpuasa pada hari ke-3, maka pada maghrib hari ketiga tersebut dia memberi makan satu orang miskin. Berikutnya hari ke-4 dia juga tidak berpuasa, maka pada maghrib hari ke-4 tersebut dia memberi makan satu orang miskin. … dst.
-         Atau bisa juga dikumpulkan beberapa hari yang ia tinggalkan. Misalnya dia tidak berpuasa hari ke-10 sampai ke-29. Pada hari ke-15 dia bayar fidyah untuk hari ke-10 sampai ke-15. Kemudian pada hari ke-25 dia bayar fidyah untuk hari ke-16 hingga hari ke-25. Lalu pada hari ke-29 ia bayar fidyah untuk hari ke-26 hingga ke-29.
Cara Kedua, dibayar sekaligus. 
Yaitu setelah ia melalui semua hari yang ia tidak berpuasa padanya, maka ia mengundang orang miskin sesuai jumlah hari yang ia tinggalkan. Misalnya seseorang tidak berpuasa sebulan penuh. Maka dia memberi makan 30 orang miskin.
Shahabat Anas bin Malik radhiyallah ‘anhu ketika beliau sudah lanjut usia dan tidak mampu lagi berpuasa, maka beliau memberi makan 30 orang miskin. (diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 4194. Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa shahabat Anas bin Malik radhiyallah ‘anhu juga pernah membayar fidyah untuk tiap hari yang beliau tinggalkan. (lihat Fathul BariVII/180).
* Membayar Fidyah boleh dilakukan ketika masih dalam bulan Ramadhan, boleh juga dilakukan di luar Ramadhan. Ketika di luar Ramadhan, boleh dicicil boleh juga sekaligus.

* * *

b. Adapun membayar fidyah dalam bentuk uang, maka hukumnya tidak boleh. Karena dalam nash dalil disebutkan dengan lafazh “memberi makan”. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah : 184)
Seorang ‘ulama ahli fiqh international, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, ketika ditanya dengan pertanyaan serupa beliau menjawab sebagai berikut :
“Wajib atas kita untuk mengetahui salah satu kaidah penting, yaitu bahwa apa yang Allah sebutkan dengan lafazh “Al-Ith’am” atau “Ath-Tha’am” (memberikan makan) maka harus benar-benar ditunaikan dalam bentuk makanan. …. Jadi jika disebutkan dalam dalil dengan lafazh “Al-Ith’am” atau “Ath-Tha’am”(memberikan makan) maka tidak bisa diwakili/diganti dengan dirham (uang). Oleh karena itu orang yang sudah lanjut usia yang berkewajiban memberi makan sebagai ganti dari puasa (yang ia tinggalkan), maka tidak bisa diganti dalam bentuk uang. Walaupun dia membayar dalam bentuk uang senilai dengan harga makanan sebanyak sepuluh kali, maka itu tidak bisa menggugurkan kewajibannya. Karena itu merupakan perbuatan melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh dalil.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin XVII/84).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan :
  1. Fidyah untuk orang yang tidak mampu berpuasa boleh dibayarkan setiap hari selama bulan Ramadhan. Waktunya adalah ketika berbuka pada hari yang bersangkutan.
  2. Fidyah boleh juga dibayarkan dicicil beberapa hari sekaligus.
  3. fidyah boleh juga dibayarkan sekaligus selama satu bulan.
  4. Syarat terpenting untuk bisa membayar fidyah adalah sudah terlalui/terlewatinya hari yang ia tidak berpuasa padanya.
  5. Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah membayar fidyah dengan satu per satu, pernah juga sekaligus.
  6. Bahwa membayar fidyah harus dalam bentuk makanan. Tidak boleh digantikan dalam bentuk uang.
  7. Kaidah penting : apa yang Allah sebutkan dengan lafazh “Al-Ith’am” atau“Ath-Tha’am” (memberikan makan) maka harus benar-benar ditunaikan dalam bentuk makanan. 

Antara fidyah da Qodho ibu hamil

Kondisi fisik seorang wanita dalam menghadapi kehamilan dan saat-saat menyusui memang berbeda-beda. Namun, pada dasarnya, kalori yang dibutuhkan untuk memberi asupan bagi sang buah hati adalah sama, yaitu sekitar 2200-2300 kalori perhari untuk ibu hamil dan 2200-2600 kalori perhari untuk ibu menyusui. Kondisi inilah yang menimbulkan konsekuensi yang berbeda bagi para ibu dalam menghadapi saat-saat puasa di bulan Ramadhan. Ada yang merasa tidak bermasalah dengan keadaan fisik dirinya dan sang bayi sehingga dapat menjalani puasa dengan tenang. Ada pula para ibu yang memiliki kondisi fisik yang lemah yang mengkhawatirkan keadaan dirinya jika harus terus berpuasa di bulan Ramadhan begitu pula para ibu yang memiliki buah hati yang lemah kondisi fisiknya dan masih sangat tergantung asupan makanannya dari sang ibu melalui air susu sang ibu.
Kedua kondisi terakhir, memiliki konsekuuensi hukum yang berbeda bentuk pembayarannya.

1. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya Saja Bila Berpuasa
Bagi ibu, untuk keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa.
Keadaan ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat,
“Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al Baqarah[2]:184)
Berkaitan dengan masalah ini, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Kami tidak mengetahui ada perselisihan di antara ahli ilmu dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan kesehatan dirinya.” (al-Mughni: 4/394)
2. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya dan Buah Hati Bila Berpuasa
Sebagaimana keadaan pertama, sang ibu dalam keadaan ini wajib mengqadha (saja) sebanyak hari-hari puasa yang ditinggalkan ketika sang ibu telah sanggup melaksanakannya.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).’” (al-Majmu’: 6/177, dinukil dari majalah Al Furqon)
3 .Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan si Buah Hati saja
Dalam keadaan ini, sebenarnya sang ibu mampu untuk berpuasa. Oleh karena itulah, kekhawatiran bahwa jika sang ibu berpuasa akan membahayakan si buah hati bukan berdasarkan perkiraan yang lemah, namun telah ada dugaan kuat akan membahayakan atau telah terbukti berdasarkan percobaan bahwa puasa sang ibu akan membahayakan. Patokan lainnya bisa berdasarkan diagnosa dokter terpercaya – bahwa puasa bisa membahayakan anaknya seperti kurang akal atau sakit -. (Al Furqon, edisi 1 tahun 8)
Untuk kondisi ketiga ini, ulama berbeda pendapat tentang proses pembayaran puasa sang ibu. Berikut sedikit paparan tentang perbedaan pendapat tersebut.
Dalil ulama yang mewajibkan sang ibu untuk membayar qadha saja.
Dalil yang digunakan adalah sama sebagaimana kondisi pertama dan kedua, yakni sang wanita hamil atau menyusui ini disamakan statusnya sebagaimana orang sakit. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Bin Baz dan Syaikh As-Sa’di rahimahumallah
Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu untuk membayar fidyah saja.
Dalill yang digunakan adalah sama sebagaimana dalil para ulama yang mewajibkan qadha dan fidyah, yaitu perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” ( HR. Abu Dawud)
dan perkataan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang seorang wanita hamil yang mengkhawatirkan anaknya, maka beliau berkata, “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.” (al-Baihaqi dalam Sunan dari jalan Imam Syafi’i, sanadnya shahih)
Dan ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil bahwa wanita hamil dan menyusui hanyaf membayar fidyah adalah, “Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar diyah (yaitu) membayar makan satu orang miskin.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 184)
Hal ini disebabkan wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan anaknya dianggap sebagai orang yang tercakup dalam ayat ini.
Pendapat ini adalah termasuk pendapat yang dipilih Syaikh Salim dan Syaikh Ali Hasan hafidzahullah.
Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu untuk mengqadha dengan disertai membayar fidyah
Dalil sang ibu wajib mengqadha adalah sebagaimana dalil pada kondisi pertama dan kedua, yaitu wajibnya bagi orang yang tidak berpuasa untuk mengqadha di hari lain ketika telah memiliki kemampuan. Para ulama berpendapat tetap wajibnya mengqadha puasa ini karena tidak ada dalam syari’at yang menggugurkan qadha bagi orang yang mampu mengerjakannya.
Sedangkan dalil pembayaran fidyah adalah para ibu pada kondisi ketiga ini termasuk dalam keumuman ayat berikut,
“…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin…” (Qs. Al-Baqarah [2]:184)
Hal ini juga dikuatkan oleh perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Irwa’ul Ghalil). Begitu pula jawaban Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya, beliau menjawab, “Hendaklah berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari yang ditinggalkan.”
Adapun perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma yang hanya menyatakan untuk berbuka tanpa menyebutkan wajib mengqadha karena hal tersebut (mengqadha) sudah lazim dilakukan ketika seseorang berbuka saat Ramadhan.

Demikian pembahasan tentang qadha dan fidyah yang dapat kami bawakan. Semoga dapat menjadi landasan bagi kita untuk beramal. Adapun ketika ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, maka ketika saudari kita menjalankan salah satu pendapat ulama tersebut dan berbeda dengan pendapat yang kita pilih, kita tidak berhak memaksakan atau menganggap saudari kita tersebut melakukan suatu kesalahan.
Semoga Allah memberikan kesabaran dan kekuatan bagi para Ibu untuk tetap melaksanakan puasa ataupun ketika membayar puasa dan membayar fidyah tersebut di hari-hari lain sambil merawat para buah hati tercinta. Wallahu a’alam.
Maraji’:
Majalah As Sunnah Edisi Khusus Tahun IX/1426H/2005M
Majalah Al Furqon Edisi 1 Tahun VII 1428/2008
Majalah Al Furqon Edisi Khusus Tahun VIII 1429/2008
Kajian Manhajus Salikin, 11 Desember 2006 bersama Ust. Aris Munandar hafidzahullah
Panduan dan Koreksi Ibadah-Ibadah di Bulan Ramadhan, Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah. Majelis Ilmu. Cet 1 2008
***
Artikel muslimah.or.id

sumber : http://www.ummi-online.com, http://kaahil.wordpress.com/2

0 komentar:

Posting Komentar

BERSYUKURLAH KEPADA SUAMI karena ALLOH,,,,,,,,,,,,,,,,

 o0o_بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــم_ oOo BAHAGIA itu,,, sangat SEDERHANA (31) oOo السلام عليكم ورحمة الله وبركاته oO...